Arsip

Saturday, September 27, 2008

Untuk Anak-anakku

Kepada Bapak-bapak, Ibu-ibu, Saudara-saudari yang kebetulan membaca tulisan saya ini perlu saya jelaskan bahwa bacaan ini semata hanya untuk menambah wawasan dan bahan pemikiran bagi putra-putri saya pribadi. Sama sekali tidak ada upaya untuk mengatakan bahwa tulisan ini adalah yang paling benar. Tentu saja yang terbaik bagi kita masing-masing adalah yang senyata-nyatanya kita yakini dalam qalbu kita pribadi sebagaimana tersirat pada QS50:41 “malaikat” menyampaikan perintah-perintah Tuhan kepada kita dari tempat yang dekat. Yang dimaksud sebagai tempat yang “dekat” adalah qalbu kita sendiri.
QS 39:18 menyampaikan “...Dengarkanlah, dan ikutilah yang terbaik....”. Dari manapun sumbernya, siapapun yang bicara, kalau yang kita dengar / baca itu memang baik adanya dan bermanfaat bagi kebaikan dan perdamaian umat manusia tentu kita wajib mengikutinya. Kita wajib membuka pintu hati kita seluas-luasnya tanpa prasangka kepada siapapun juga tanpa memandang agama serta kepercayaan maupun derajatnya (Dalam QS 2:62, 5:69, 22:17 Allah dalam hal apapun sama sekali tidak membeda-bedakan umat agama apapun juga. Kasih dan hukumNya berlaku sama bahkan terhadap kaum Majusi / kaum penyembah api sekalipun. Tuhan tidak memberikan derajat yang lebih tinggi kepada seseorang karena ia beragama Islam, tetapi Allah memberikan derajat yang lebih tinggi kepada sesorang berdasarkan tingkat keimanannya-apapun agamanya-, itulah makna dari kata 'Islam' yang diucapkan sejak dari nabi Ibrahim (QS2:132) hingga nabi Muhamad bin Abdullah).
Firman-firman yang disitir disini disampaikan dalam sajian maknawiyahnya dan tentu tidak ada paksaan semua orang harus setuju. Sebagaimana kita ketahui bahwa banyak sekali terjemahan Al Qur'an sehingga secara harafiahpun dapat saja berbeda dengan yang tersurat dalam terjemahan Al Qur’an yang anda baca.

Saya setuju dengan pendapat sementara pihak yang mengatakan bahwa kita harus banyak mendengarkan kothbah-khotbah, ceramah-ceramah keagamaan dari para kiai, da’i ataupun para pemuka-pemuka agama. Tentu saja semua itu sangat baik. Tetapi sebagai mahluk berakal jika dikaji lebih jauh tergelitik dalam hati atas pertanyaan-pertanyaan berikut;

  1. Cukupkah itu semua ? Berapa banyakkah waktu kita yang kita manfaatkan berdiskusi dengan Kiai dalam sehari, kemudian kita hitung jumlahnya dalam seminggu, sebulan, setahun, kemudian seumur hidup kita dari awal sampai akhir hayat yang kita manfaatkan untuk berkumpul bersama dengan Kiai (atau apapun kita menyebutnya), untuk bertanya, menyerap ilmunya maupun mendengarkan ceramah, khotbahnya yang baik, bermutu dan benar ? dan apakah itu semua cukup untuk mengupas makna Al Qur'an?, setidak-tidaknya point-point yang pokok bagi keselamatan kita dunia dan akhirat
  2. Apakah waktu yang kita manfaatkan itu semua cukup dan sudah effisien penggunaannya untuk memahami seluruh firman-firmanNya?, atau mungkinkah ada sebuah ayat yang mungkin terlewat sehingga kita tidak pernah melaksanakannya sampai akhir hayat kita, karena kita tidak pernah mendengar apalagi memahami perintah pada ayat tersebut ? Ada sementara pihak (termasuk segelintir Kiai, Da’i maupun pemuka-pemuka / tokoh-tokoh) yang mengatakan bahwa banyak firman-firman yang memang tidak dapat dipahami manusia karena memang diturunkan sebagai muthasyabihat (allegory) sehingga hanya untuk menjadi mistery bagi manusia. Saya jelas kurang sependapat .
  3. Bagaimanakah sekiranya kalau Tuhan meminta pertanggung jawaban diri kita atas ayat muthasyabihat maupun ayat-ayat yang penjelasannya terlewatkan oleh Uztad / Kiai sehingga kita tidak memahaminya, bahkan kita belum pernah mendengar atau membaca bahwa ayat tersebut ada dalam firmanNya? Bolehkah kita mengatakan kepada Tuhan kita; “Ya Allah, kiai A tidak pernah menjelaskan firmanMu tersebut kepada saya. Sudilah kiranya Allah menunggu sementara saya mencari kiai A dulu, entah di surga atau dineraka. Mudah-mudahan saya mendapatkan jawaban dari kiai A terlebih dahulu”. Apakah jawaban seperti ini masuk di akal? Islam adalah agama akal. Dalilnya - Tidak wajib beragama bagi mereka yang tidak berakal-. Bagaimana mungkin kita bisa menyakini pendapat yang kita terima itu paling mendekati kebenaran jika isinya hanya anjuran menista umat lain yang semata adalah juga ciptaan Allah. Bukankah manusia adalah mahluk merdeka? Mengapa kita menjadi budak pemikiran orang lain? Mengapa kita tidak 'mencernanya' untuk diri kita sendiri sehingga dalam seketika kita dapat memberikan jawaban versi nalar dan akal sehat kita sendiri?! Minimal kita sudah mencernanya sendiri dengan akal dan nalar kita yang sehat sehingga kita bisa menjawab apapun yang ditanyakan tanpa perlu menunggu jawaban dari orang lain atau tanpa menjadi "beo" dari orang lain yang belum tentu ujung dan pangkalnya. Kita tahu ada banyak manusia yang sangat ingin kita tidak pernah memahami agar kita selalu tergantung pada mereka demi ego atau demi asap dapur mereka dan sangat menginginkan kita tetap bodoh. Apakah Tuhan menghendaki kita seperti itu? Saya sungguh tidak percaya Allah berkehendak demikian.
    QS74:38 "Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang diperbuatnya". Ayat ini jelas menjawab / menyampaikan kepada kita bahwa Kiai A sama sekali tidak memikul tanggung jawab atas semua itu tetapi hal itu semua harus menjadi tanggung jawab diri pribadi kita masing-masing walaupun dia yang menganjurkan / menghasut seseorang berbuat sesuatu, sebab Allah sudah memberikan akal dan nalar kepada kita untuk mengolah seluruh informasi yang kita terima dan sudah memberikan telinga lahir dan bathin agar kita dapat memilah dalam melaksanakan perintahNya. QS39:18 "yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal". Dalam ayat tersebut penekanannya jelas pada "..apa yang paling baik..." penekanannya bukanlah pada ".....siapa atau beragama apa subjek yang berbicara........". Sekali lagi hanya dengan nalar dan akal yang sehat, dan hati bersih dan terbuka kita baru dapat memahami firmanNya dengan jelas.

Pertanyaannya adalah, bagaimana kita mengantisipasi dan mengatasi hal itu ? Secara logika saja (sekali lagi, bukankah Islam adalah agama akal dan dalilnya -tidak wajib beragama bagi yang tidak berakal-), jawabnya kita harus mencari “guru” yang sudi mengajarkan diri kita hingga kita mampu menjadi “merdeka”, mampu memakai nalar dan akal sehat kita, tidak tergantung orang lain -siapapun juga dia- dalam mempelajari serta memahami firman-firman Allah, juga tidak menjadi tergantung kepada guru kita tersebut. Kitapun harus ingat ketergantungan diri kita pada orang lain yang berlanjut hanya akan membuat diri kita menjadi terbelenggu, bodoh dan dimanfaatkan secara finansiil maupun secara politis oleh pihak atau orang lain yang merasa lebih superior atas diri kita, dan itu semua bukan tidak mungkin mereka lakukan untuk kepentingan diri mereka pribadi. Lagi pula orang beriman wajib hukumnya memerangi "kafir" (selain nafsu-nafsu dalam diri kita sendiri, makna lainnya kafir adalah: 'kegelapan' atau 'keterbelakangan', kafir sama sekali bukanlah saudara-saudara kita sesama manusia ciptaan Tuhan yang agamanya berbeda dengan kita, bukan itu). Kalau tidak untuk kepentingan ego / politis minimal orang lain memanfaatkan kita untuk kepentingan dapur mereka. Apakah uztad kita tidak tergolong demikian? Jawaban paling jujur ada pada diri kita sendiri sesuai dengan bagaimana kita menerapkan derajat 'kemerdekaan' diri kita sendiri sebagai khalifahNya dimuka bumi ini. Bukan sebagai khalifahnya guru agama / Kiai kita. Kita harus mencari “guru” yang mampu membimbing diri kita untuk mendapatkan ilmuNya (la dunna ilma), ilmu yang sama yang dilimpahkan kepada hanya seorang hamba yang "nobody" yang menyebabkan kepada beliau nabi Musa memohon-mohon agar beliau mau memberikan bimbingan kepada nabi Musa (QS18:65).
Mungkin ada baiknya kita kaji dulu kedalam diri kita secara jujur apa yang saya kemukakan tadi, sebab banyak diantara umat muncul pertanyaan senada; “Bagaimana mungkin kita dapat memahami Al Qur’an ?, sebab Al Qur’an harus dipelajari hanya dalam bahasa Arab dan sebagian besar masyarakat mengatakan bahwa yang diterjemahkan kedalam bahasa ajam (selain bahasa Arab) bukanlah Al Qur’an”.
Apakah memang demikian ? Apakah Allah yang Maha Perkasa bisa 'diperbudak' oleh suatu golongan kaum untuk hanya menjadi milik mereka saja? Bukankah Allah Maha Perkasa dan Maha Mengetahui lagi Maha Kaya?!
Kalau kita dapat berbahasa Arab tentunya akan lebih baik, tetapi tidak paham bahasa Arab pun jangan menjadi batu halangan, sehingga kita tidak tergolong menjadi kaum yang terpanggil dari tempat yang jauh, sehingga hanya sayup-sayup saja kita mendengar perintahNya. Bahasa Arab adalah “bahasa kaum” bagi orang Arab sedangkan bagi kita berlaku “bahasa kaum” kita sendiri sesuai kodrat kelahiran yang dilimpahkan Tuhan kepada kita saat kita dilahirkan sebagai bangsa Indonesia. Hal itu dimaksudkan Allah tentunya agar kita dapat jelas memahami firman-firmanNya tanpa terhalangi atau dipersulit oleh kebangsaan / kesukuan kita.

(QS14:4) "Kami tidak mengutus seorang rasul pun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana".

Dalam ayat diatas jelas disampaikan bahwa jikalau Allah merasa perlu mengirimkan seorang utusanNya maka utusan tersebut pasti akan bersantun dengan bahasa kaum bangsa tersebut. Kalau kita sudah paham akan makna ayat tersebut maka Al Qur’an tidak hanya akan menjadi hiasan lemari atau hiasan bibir saja dan lebih jauh lagi agar kita tidak tergolong kaum yang disebutkan dalam QS73:17 sebagai anak-anak beruban. Kita sering melihat banyak anak-anak kecil menyanyikan lagu barat tanpa mereka paham sedikitpun makna lagu tersebut, bukankah itu adalah gambaran diri kita saat ini ? yaitu anak-anak beruban.

Mari sepintas saja kita kaji firman-firman berikut;
QS30:59 "Demikianlah Allah mengunci mati hati orang-orang yang tidak (mau) memahami". Jelas perintahNya adalah memahami bukan menghapal dalam bahasa Arab tanpa mengerti apa maknanya. Kadang ada segelintir orang mengatakan; "Kita tidak mungkin memahami seluruh firman-firmanNya", maka Allah segera mengunci mati hatinya karena memang si manusia itu sendiri yang menghendaki demikian. Mau? Suka?

QS26:192-194 Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan.

Inilah yang dimaksudkan oleh Al Qur'an sebagai tidak ada yang dapat menyentuh firman-firmanNya kecuali mereka yang suci, sebab Al Qur'an yang hakiki hanya turun dihati umatNya yang memang niatannya suci untuk menerima firmanNya dengan ikhlas tanpa embel-embel dan sebaliknya mereka yang hatinya penuh pamrih dan tidak ikhlas tentu hanya memahaminya sebatas kulit luarnya saja (QS56:79, QS2:97, QS26:192-194). Tanda-tanda hanya dijelaskan kepada mereka yang mengetahui (QS6:98).

QS14:4 Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan Dia-lah Tuhan Yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

QS41:44 Dan jikalau kami jadikan Al Qur'an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: "Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?". Apakah (patut Al Qur'an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Qur'an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur'an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh".

Jika kita memakai akal sehat kita tentu kita akan bertanya-tanya; "Golongan macam apa yang digambarkan dalam ayat diatas". Pada ayat diatas kita dapat 'melihat' mengapa Allah perlu menurunkan seorang nabi yang khusus dari bangsa Arab dan berbahasa Arab.

Kita sebagai umat muslim yang berbangsa Indonesia boleh berbangga, bahwa kita sama sekali tidak pernah mempermasalahkan dari bangsa apa setiap nabi berasal, atau dengan bahasa apa setiap nabi bersantun. Kaum esoteric cukup melaksanakannya saja dengan akal sehat dan nalarnya didalam meng-imani. Bagaimana soal bahasa Arab yang bukan "bahasa kaum" nya orang Indonesia? Ya, terjemahkan saja. Kalau kita meminjam istilahnya seorang tokoh negarawan kita;"Gitu saja koq repot!". Jangan menjadi repot seperti yang dicontohkan dalam QS2:69-71, bahwa suatu bangsa diperintahkanNya untuk "menyembelih sapi". Tetapi menjadi sulit menjalankan perintahNya sebab selalu hanya mempersulit diri dengan banyak pertanyaan yang mengada-ada (atau hanya sekedar mencari alasan untuk tidak melaksanakan perintahNya yang pada akhirnya tetap tidak dapat menghindar dan sebagai manusia ciptaanNya tetap harus melaksanakannya). Hal seperti itu akhirnya hanya membuat kita menjadi sulit melaksanakan perintahNya. Olah dengan nalar dan akal sehat kita lalu jalankan perintahNya titik!

QS26:198-199 Dan kalau Al Qur'an itu Kami turunkan kepada salah seorang dari golongan bukan Arab, lalu ia membacakannya kepada mereka; niscaya mereka tidak akan beriman kepadaNya.

Bukankah sejarah sudah membuktikan bahwa sejak Allah menurunkan Nabi Adam sampai dengan Isa Al Masih bangsa tersebut tetap hidup dalam zalam jahiliyah, mereka dalam "kegelapan". Ayat tsb. mencerminkan sebuah contoh kepada manusia betapa pemurahnya Tuhan dan begitu besar toleransi yang diberikan kepada umat manusia. Karena ketika diturunkan Taurat, Zabur, Injil dalam bahasa Ajam (bukan bahasa arab) dan Nabi-nabinya pun bukan bangsa Arab, bangsa tersebut tidak merasa perlu dan tidak mau mengimaniNya. Apakah Bapak dan Ibu tergolong seperti mereka? Maka saat Allah menurunkan kembali firman-firmanNya kepada bangsa yang bersangkutan tersebut diturunkan dalam “bahasa kaum”, bahasa yang sesuai bagi mereka yang 'kurang' paham, yang dapat dipahami oleh masing-masing kaum tersebut. Jadi Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab bukan karena supremasi yang hebat dari bangsa tsb. Tapi semata karena Maha PemurahNya Allah ketika melihat bangsa tersebut berada dalam kegelapan yang berlapis-lapis karena tidak mau mengimani kitab-kitab dan nabi-nabi yang sudah diturunkan sebelumnya, maka diturunkan kepada mereka Nabi (Achmad bin Abdullah) dari bangsanya (kaumnya) sendiri dan disertai kitab suci dengan “bahasa kaum” mereka sendiri yaitu bahasa Arab.

Kalau kita kaji dan cermati apakah itu bukan sebuah "test case" dari Tuhan untuk melihat apakah mereka memang benar-benar ingin selamat dari zaman jahiliah?! Apakah sekarang bangsa tersebut sudah selamat dari jaman jahiliah? Mungkin banyaknya kasus-kasus malapetaka yang terjadi atas diri tenaga kerja wanita Indonesia (bahkan juga pada beberapa tenaga kerja pria Indonesia) yang bermukim disana bisa memberikan gambaran yang gamblang bahwa moral seperti apa yang mereka lakoni dizaman ini yang mereka sebut BUKAN jaman jahiliah!

Banyak dari kita yang dapat berbahasa arab yang bisa dan mampu membaca Al Qur’an tetapi sepertinya tidak memahami Al Qur’an, sehingga mereka hanya memberhalakan bahasa tersebut. Bukti nyatanya banyak diantara mereka yang paham bahasa arab (maksudnya: bahasa Al Qur'an) tetapi nyatanya perbuatannya sama sekali tidak bisa mencerminkan akhlak dan budi pekerti yang mulia sebagaimana dicontohkan nabi Muhamad bin Abdullah, tetapi bahkan cenderung senang menyakiti orang lain dan merendahkan umat ciptaanNya yang berbeda dengan mereka. Perbandingannya sangat sederhana;"Pernahkan nabi Muhamad menyakiti, membunuh umat bergama lain?"

Pendekatan dari sisi lain mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan dengan 'ilmu', maka menjadi penting bagi kita untuk mencari guru yang mendapat ilmu dari sisiNya (laduna ilma) yang tidak saja hanya mau, tetapi juga mampu membagi ilmunya dan mengajarkannya kepada kita agar kita dapat memahami maknawiah atau hakikinya dan bukan sekedar membaca yang tersurat saja dari firman-firman Allah (QS30:59) seperti termaktub dalam QS18:65. Bagaimana kita akan menerapkannya kalau memahami saja tidak?

Ada sebuah banyolan. Ada seorang Kiai yang sangat fasih berbahasa Arab yang setiap subuh selalu berceramah di mesjid disebelah rumahnya dan meninggalkan rumahnya terkunci. Beliau begitu fasihnya sehingga beliau sering kali banyak memakai bahasa Arab sebagai bahasa pengantar ceramahnya. Disuatu subuh beliau berdakwah bahwa;"Mengaji cukup dalam bahasa Arab saja, walaupun tidak paham arti maupun maknanya kita sudah selamat dunia akherat", seperti biasa beliaupun selalu mengingatkan dalam bahasa Arabnya bahwa jama'ahnya dimesjid ini jangan sampai terjerumus kedalam perbuatan mencuri apalagi korupsi. Disaat bersamaan rumah beliau yang letaknya tepat disebelah mesjid sedang dibongkar pencuri. Bagaimana mungkin si pencuri tidak mendengar ceramah beliau dari pengeras suara yang begitu dasyat suaranya membelah dikeheningan suasana subuh dan tetap mencuri walaupun pak Kiai dalam bahasa Arabnya yang wah menyampaikan bahwa "Perbuatan mencuri hukumnya adalah berdosa". Masalahnya adalah si pencuri tersebut sama sekali tidak paham bahasa Arab. Jadi bagaimana mungkin kita bisa selamat dunia akherat jika kita mengaji bahasa Arab saja dan sama sekali tidak paham apa yang kita baca dan dengar. Kalau mau selamat dunia dan akherat harusnya yang kita lakukan adalah - Mengkaji Al Qur'an dalam bahasa 'kaum', yaitu bahasa sehari-hari kita.

QS 18:65 Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

QS11:14 Jika mereka yang kamu seru itu tidak menerima seruanmu (ajakanmu) itu maka (katakanlah olehmu): "Ketahuilah, sesungguhnya Al Qur'an itu diturunkan dengan ilmu Allah dan bahwasanya tidak ada Tuhan selain Dia, maka maukah kamu berserah diri (kepada Allah) ?"

Jadi pada hematnya ilmu tersebut hanya akan diperoleh dengan berserah diri (berserah diri dalam arti mutlak sebenar-benarnya, bukan sekedar pemanis bibir) kepada Allah semata.

Mungkin ada baiknya kita simak kisah nabi Musa ketika diperintahkan Allah untuk belajar dari seorang hamba Allah yang diberikan ilmu dari sisi Tuhan (laduna Ilma), sulit membayangkan perasaan seorang Nabi Musa diperintahkan untuk belajar dari hanya seorang hamba biasa yang notabene bukan seorang Nabi (sekarang kita menyebutnya sebagai Khidir/Chaidir). Tentunya ini memerlukan pengorbanan ego serta kepasrahan yang amat besar bagi seorang nabi sekaliber nabi Musa untuk melaksanakannya. Hal seperti ini tentu hanya dapat dilaksanakan oleh mereka yang sudah dapat memahami makna hakiki dari perintah Allah untuk melaksanakan makna dari perintah “Qurban”. Hampir saja beliau gagal. Secara harafiahnya hal tersebut dapat kita baca pada Qs18:60-82. Ayat tersebut bermakna multi dimensi, salah satu dimensinya sudah disampaikan diatas dan banyak makna lain yang bisa dipelajari dan bermanfaat bagi mereka yang mawas. Mungkin Allah pun ingin menyampaikan kepada kita –Kalau kita kebetulan beruntung diberikan kelebihan harta atau kelebihan ilmu, dapat fasih berbahasa Arab, sehingga kita dapat memiliki titel keruhanian (apapun juga titel itu) yang kita tulis didepan nama kita, tidak berarti bahwa keruhanian kita lebih hebat dari seorang papa yang belum tentu secara materi mampu memberikan makan sehari-hari bagi keluarganya.

Ada pertanyaan yang muncul dalam diri ini yang mungkin dimaksudkan untuk mendorong diri agar mau berpikir dan belajar. Sekira Allah meminta pertanggung jawaban saya atas QS2:63 -“Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkatkan gunung (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): "Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan ingatlah selalu apa yang ada di dalamnya, agar kamu bertakwa".

Pertanyaan demi pertanyaan yang sangat sederhana bertubi-tubi muncul dalam pada diri kita, yaitu: “Janji apakah itu dan bagaimana kita harus memenuhi janji tersebut, apa yang ada didalam gunung itu yang harus kita pegang teguh, apa yang ada didalam gunung itu yang harus kita ingat agar kita bertaqwa dan dimana sekarang gunung itu adanya ?”. Kita wajib 'membongkar' dan menyelami bahasa rahasia ini sehingga kita benar-benar paham sebab mungkin kita harus menjawab pertanyaanNya kelak .

Sebagai penutup mungkin ada baiknya saya kutip QS 38:29 "Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran". Jelas difirmankan Allah pada ayat tersebut bahwa setiap ayat wajib kita cermati. Dan Hanya orang-orang yang mau berpikir serta mau mencermati yang akan paham dan mendapatkan pelajarannya atau maknanya, jadi bukan menjadi sekedar taqlid buta menerima mentah-mentah kata-kata orang lain (tanpa kita kaji matang-matang) semata hanya karena orang tersebut berjenggot atau bersurban tinggi atau memiliki titel keruhanian yang wah serta memiliki massa yang begitu banyak. Bukankah begitu banyaknya contoh bahwa tokoh-tokoh politik juga memakai simbol simbol keagamaan / keruhanian demi mendapatkan massa serta dukungan finansiil, bahkan seorang bekas Presiden Suharto yang kita kenal begitu 'kuat' berwibawa bisa lupa diri terjerumuskan akibat silau dengan "doa kebulatan tekad" yang didengung-dengungkan oleh beberapa Kiai besar dan kondang dari suatu institusi besar yang diciptakannya sendiri. Ini gejala apa? Apakah bukan karena manisnya upah harta materi yang diharapkan akan digelontorkan Presiden Suharto pada mereka? Begitu parahkah potret diri tokoh-tokoh ruhani yang akan jadi panutan kita? Anda sendiri tentu masih ingat kejadiannya jadi nilailah sendiri. Apakah pribadi-pribadi yang demikian akan memilih menyelamatkan umatnya dibanding kantongnya? Apapun keputusannya, kepentingan materi / politik selalu menjadi tujuan utamanya, bukan kebaikan umat! Kebaikan bagi umat hanyalah komoditas mereka untuk mendapatkan dukungan massa untuk mencapai tujuan pribadinya.

Carilah jalan keselamatkan ruhani kita sendiri dari, cari sendiri didalam kitab suci, jangan serahkan keselamatan iman / ruhani kita sekedar kepada 'kata' orang lain, apalagi kepada manusia yang intergritasnya seperti saya sebut diatas. Baca dan kaji, pahami kitab suci baik-baik. Jangan sampai Allah harus "mengetuk kepala kita dengan tongkat nabi Musa" agar kita mau mulai berfikir. Ingat, utusanNya sekaliber Nabi Musa pun agar selamat masih harus berguru kepada hanya seorang “hamba” Nya yang sama sekali tidak bertitel dan tidak tersohor sama sekali, jadi jangan silau pada titel ruhani, pada surban yang besar ataupun peci yang tinggi dan sajadah tebal. Dalam masalah keimanan dari zaman ke zaman belum pernah berubah sedikitpun, apa yang pada zaman dahulu disebut “ahli kitab” pada masa kinipun masih tetap hadir dalam hidup kita sehari hari, setiap hari hanya berteriak-teriak tentang kitab suci, tapi apakah mereka paham isinya? entahlah, tapi anehnya kenapa masih suka menyakiti sesama manusia yang kita anggap bukan golongan kita. Bahkan kita senang menghancurkan sesama kelompok sendiri dengan alasan dibuat-buat:"Sesat!". Padahal semata itu karena iri ternyata seterunya berhasil membina umatnya sehingga koperasinya maju, pertaniannya subur dan desa seterunya makmur, upaya pendidikannya berhasil, organisasinya maju. Cobalah perbandingkan kemakmuran antara desa-desa kita dengan desa-desa mazhab (apapun itu istilahnya) seteru kita. Itulah gambaran arah perjalanan ruhani kita!

Menurut umumnya kita yang pantas dilakukan adalah, berpawai motor ramai-ramai dengan peci putih, tanpa helmet dan berjubah putih, melanggar semua aturan lalu-lintas, melanggar hukum, menghujat yang berbeda dengan mereka, berbuat onar di jalan sambil mengusung nama nabi pada spanduk dan punggung jaketnya. Inikah yang gambaran Islam? Inikah yang direstui oleh otoritas Islam semi pemerintah yang resmi? Inikah yang direstui oleh pemerintah dan aparat-aparat hukumnya? Gejala apa ini? Ini sama sekali bukan soal keimanan. Dibelakang ini semua adalah masalah uang, dari uang saku pelaku lapangan hingga setoran politik bagi pelaku-pelaku dibelakang layar! Semua ini semata hanya pelaksanaan program pemenangan pemilu baik jangka pendek maupun jangka panjang. Siapa yang bisa dan mampu berbuat demikian? Organisasi keruhanian apapun tidak mampu mengorganisir hal-hal demikian, dibelakang semua ini adalah manusia-manusia yang pernah menyandang pangkat paling tinggi pada institusi resmi tertentu sehingga mereka paham seluruh peta situasi nasional dan paham dimana simpul-simpul sosial yang harus di'goyang'kan untuk menciptakan situasi tertentu agar tujuan mereka tercapai. Apakah memang hanya mereka saja ahli strateginya? Oh tidak, bekas petinggi-petinggi itu hanya perantara atau calo saja! Dibelakang mereka masih ada pihak-pihak asing yang memang menginginkan Indonesia hancur dan mereka tahu bahwa strategi yang paling jitu adalah memakai issue keimanan. Petinggi-petinggi itu dulu selalu jaya dan mereka sudah banyak mengumpulkan sumber dana. Mereka baru tersingkir pada era pemerintahan Gusdur dan mereka berusaha bangkit melalui partai baru mereka, sementara otoritas keagamaan resmi kita yang 'semi pemerintah' tersebut hanya robot yang diumpan dengan materi mereka saja. Apakah mereka semua orang beriman? Oh tentu, mereka kelihatannya seperti sangat "beriman" kalau parameternya adalah banyaknya sapi yang dipotong, mengkilatnya baju 'koko', tebalnya sajadah dan panjangnya jubah.

Anak-anakku jauhkanlah hal itu dari dirimu dan hati-hatilah jika berperan serta dalam politik. Pandai-pandailah memilah persoalan antara persoalan politik atau persoalan keimanan. Dipermukaan tampaknya seperti murni persoalan keimanan walaupun sebenarnya adalah persoalan politik. Ingatlah, Tuhan menciptakan beragam agama semata-mata agar semua umat manusia berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan saling menghancurkan (QS5:48).

Blog ini semata untuk mereka yang meyakini bahwa keindahan, keagungan dan kebesaranNya justru tampak lebih jelas dan indah didalam perbedaan-perbedaan dan keaneka-ragaman yang diciptakanNya dan disamping untuk menambah wawasan bagi saudara-saudara kami yang meyakini adanya kedamaian universal didalam kebenaran Islam. Bagi saudara-saudara kami yang merasa sudah mencapai Kebenaran pada jalan berbeda, kami ucapkan selamat dan terimakasih kami atas toleransinya yang sudah diberikan kepada kami. Jika pemahaman kami ini terasa mengganggu kenyamanan Ibu / Bapak / Saudara-saudari kami mohon keichlasannya untuk memaafkan, biarkanlah kami tetap dalam upaya 'pencarian' kami dan kami persilahkan menutup blog ini atau silahkan tetap membaca sejauh tidak merasa kenyamanannya terganggu.