Arsip

Monday, December 8, 2008

BERSERAH DIRI

Buhlul pernah bertemu dengan seorang darvish, “Bagaimana kabarmu, darvish?”
Sang darvish menjawab, “Kabar apa yang harus kusampaikan tentang Dia yang mengurusi alam semesta? Apapun yang terjadi, karena kehendak-Nya. Mereka berada pada jalan lurus, karena Dia. Mereka yang tersesat, juga karena perangkap-Nya.”
“Betul, betul sekali. Apapun yang engkau ucapkan memang betul. Cahaya yang menerangi wajahmu sudah berbicara banyak. Lebih banyak daripada apa yang engkau sampaikan. Kendati demikian, berilah aku sedikit bekal untuk perjalanan. Jelaskan pencapaianmu dalam bahasa yang bisa dipahami oleh siapa saja. Oleh mereka yang sudah berjalan, maupun oleh mereka yang belum berjalan,” demikian permohonan Buhlul.
Seorang darvish bisa berbagi rasa, bisa berbagi pengalaman dengan siapa saja. Bahasa dia persis seperti bahasa al-Qur'an. Setiap ayat memiliki tujuh makna. Dari yang paling “kasar” sampai yang paling “halus”. (Catatan penulis: Untuk setiap ayat ada enam puluh ribu pemahaman / fahm . Dari buku “THE HERITAGE OF SUFISM, Clasical Persian Sufism from its Origin to Rumi." England: Oneworld Publications, 1999. - Pen.).

Sekarang tergantung pembacanya. Kalau dirinya masih “kasar” dia akan memahami kulit al-Qur'an. Kulit yang paling luar, hanya permukaannya saja. Kalau dirinya sudah “halus”, dia akan menemukan inti al-Qur'an.
Tujuh makna yang disebut Rumi, bukan sekedar bahasa kias. Tetapi bekaitan dengan tujuh lapis kesadaran dalam diri manusia. Tergantung kita berada pada lapisan yang keberapa. Kalau masih berada pada lapisan yang terbawah, maka makna yang kita pahami juga masih “kasar”. Berada pada lapisan ketujuh, kita akan merasakan betapa “halus”nya al-Qur'an. Aksi teror, intimidasi, dan kekerasan yang kita lakukan atas nama agama, al-Qur'an, dan hadis nabi, membuktikan bahwa kita masih berada pada lapisan kesadaran terendah. Sehingga yang terlihat hanya kulit al-Qur'an. Kemudian “kulit” itu kita bandingkan, kita cocokan dengan kulit Injil dan Veda dan Dhammapada dan Zend Avesta. Tentu yang terlihat perbedaan saja.
Kembali pada dialog Buhlul......

Sang darvish berkata, “Serendah-rendahnya kesadaran manusia, Kita sadar bahwa apapun yang terjadi adalah atas perintah-Nya. Apabila kesadaran ini ditingkatkan sedikit, dan kita bisa 'menerima' kehendak Ilahi, maka kita bisa berserah diri.”

Menerima “perintah” berarti kita masih “diperintah”. Kita seperti seorang pembantu yang tidak punya inisiatif. Diperintah, baru jalan. Diperintah, baru kerja. Diperintah, baru begini. Diperintah, baru begitu. Menerima perintah Allah, berarti kita belum dinamis. Kita masih sangat pasif. Kalau tidak diberi harapan (pahala - Penulis), kita tidak mau bekerja. Kalau tidak diberi ancaman, kita bermalas-malasan. Kita seperti buruh kasar yang membutuhkan mandor, masih harus diteriaki dan diomeli.
Seorang darvish tidak perlu “diperintah” lagi. Dia tidak perlu diberi harapan. Dia tidak perlu diancam dengan hukuman. Dia punya inisiatif sendiri. Dia sangat dinamis. Dia “menerima” kehendak Ilahi atas kesadarannya sendiri.
Dalam bahasa Rumi:

Dia tidak menghendaki hidup karena ingin hidup. Dia juga tidak mengharapkan apa-apa setelah kematian. Bagi dia, kelahiran dan kematian sama saja. Dia hidup karena Allah dan mati karena Allah.
“Kalau dia meninggalkan kufr dan beriman pada Allah, bukan karena takut api neraka. Keimanan dia, keyakinan dia bukan untuk memperoleh hidup abadi di surga. Tetapi semata-mata karena mencintai Allah,” demikian penjelasan darvish.
Dan cinta itu yang mempersatukan dirinya dengan Allah. Maka ketika darvish ditanyai kabar oleh Buhlul, dia menjawab, “kabar apa yang harus kusampaikan tentang Dia yang mengurusi alam semesta?”
(Karena dirinya memang sudah bersatu dengan Dia). Itulah sebabnya dia tidak pernah mengeluhkan sesuatu. Mau mengeluhkan apa lagi? Yang harus mengeluhkan pun sudah tidak ada lagi. Dirinya sudah terbakar habis oleh api cinta.

Omongan Rumi masih panjang sekali. Saya memilih untuk tidak menerjemahkan, karena akan menyinggung perasaan mereka yang dalam bahasa Rumi “masih berjalan dalam kegelapan” . Misalnya “Dia tidak akan berdoa, kecuali doa itu menyenangkan Dia yang dicintainya.” Berarti, orang seperti dia, seperti darvish dalam kisah ini tidak akan berdoa “untuk” sesuatu. Dia hanya “suka“ berdoa karena Dia menyukainya. This is love affair, bung. Tempat ini bukanlah untuk mereka yang belum kenal cinta. Bukanlah untuk mereka yang masih sibuk “berdzikir”, “berjapa”, dan “berosario” karena ingin sembuh dari tekanan darah tinggi atau diabetes. Bukan pula untuk mereka yang masih sibuk “bershalat”, “berdoa”, dan “bersembahyang” serta “bermeditasi” untuk memperoleh ketenangan, ketentraman atau kebahagiaan (harta dunia – Pen.).
Cinta tidak membutuhkan sesuatu.
Seorang pecinta sejati bahkan tidak mengharapkan dicintai kembali. Dia tidak butuh imbalan atas “jasa” cintanya. Dia tidak menganggap cintanya sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan dan dihargai. Dia akan berdzikir karena cinta, beramal saleh karena cinta, beriman karena cinta.

Dari buku MASNAWI karya Rumi. Penulis: Anand Khrisna.
Blog ini semata untuk mereka yang meyakini bahwa keindahan, keagungan dan kebesaranNya justru tampak lebih jelas dan indah didalam perbedaan-perbedaan dan keaneka-ragaman yang diciptakanNya dan disamping untuk menambah wawasan bagi saudara-saudara kami yang meyakini adanya kedamaian universal didalam kebenaran Islam. Bagi saudara-saudara kami yang merasa sudah mencapai Kebenaran pada jalan berbeda, kami ucapkan selamat dan terimakasih kami atas toleransinya yang sudah diberikan kepada kami. Jika pemahaman kami ini terasa mengganggu kenyamanan Ibu / Bapak / Saudara-saudari kami mohon keichlasannya untuk memaafkan, biarkanlah kami tetap dalam upaya 'pencarian' kami dan kami persilahkan menutup blog ini atau silahkan tetap membaca sejauh tidak merasa kenyamanannya terganggu.