Arsip

Friday, May 22, 2009

Agama (dogma) dan Humaniora

Saya pernah belajar keruhanian yang berlatar belakang Islam Esoteric (sufisme) dari seorang Mursyid (atau apalah istilah yang ingin anda berikan, terserah). Beliau tinggal didaerah sekitar Bandung, Jabar. Di daerah Jawa Barat, umumnya mereka masing-masing menyebut ajarannya sebagai Haqmaliah, istilah lain yang mereka berikan untuk Islam Hakekat. Itu hanyalah sebutan, kenyataannya setiap Guru yang mengajar keruhanian haqmaliah di sekitar Jabar (terutama didaerah Garut dan sekitarnya) dengan pendekatan / methode yang berbeda-beda, walaupun pada puncaknya mereka sampai pada "Inti" pembicaraan yang sama. Seperti juga Guru-guru sufi yang lain di timur tengah dan lain-lain tempat, mereka menurunkan ilmunya secara tertutup.
Inilah pengalaman bersama beliau.

Salah seorang murid Guru, yaitu seorang perwira tinggi Polri, yang berkedudukan di Jakarta, murid tersebut adalah anak dari seorang Ajengan, istilah untuk kiai sepuh yang berpengaruh didaerah Jawa Barat.
Suatu hari Guru diundang untuk menghadiri suatu acara (pesta) dirumah pati tersebut. Waktu dikenalkan oleh pati tersebut kepada orang tua (bapak ) pati tersebut dan pak kiai mengajak Guru mursyid tersebut masuk ke suatu ruangan terpisah untuk berbincang. Terjadilah komunikasi, ilustrasinya saya sampai seperti berikut ini.

Pak kiai: Nak, saya dengar anak muda mengajar ilmu hakekat haqmaliah kepada putra saya.
----
Guru mursyid: Betul pak kiai.
----
Pak Kiai: Tolong jelaskan kepada saya, sebab putra saya sekarang selalu berbicara tentang hakekat atau marifat.
----
Guru mursyid: Hal biasa mungkin karena pengalaman baru bagi putra Bapak. Apa yang harus saya jelaskan tentang itu kepada pak kiai?
----
Pak kiai: Ya. Saya sudah kenyang berguru di banyak pesantren besar, tapi sampai saat ini saya belum pernah bisa menyelesaikan ilmu syareat yang saya pelajari, begitu banyak amalannya. Coba anak muda renungkan kembali ajaran yang disampaikan kepada putra saya tentang hakehat. Saya sudah berumur tua saja belum menyelesaikan syareat yang saya tahu begitu banyak amalannya. Bagaimana mungkin anda anak muda bicara tentang hakekat kepada putra saya yang nyatanya saja lebih tua dari anda. Nanti saja kalau anak muda sudah menyelesaikan semua syaerat lengkap barulah anak muda bicara tentang hakekat. Itu masih jauh anak muda. Apa sih sekarang yang anak muda ketahui tentang Hakekat itu?
----
Guru mursyid: Betul pak kiai, saya masih muda jauh lebih muda dari putra pak kiai, apalagi dibandingkan umur pak kiai. Jelas methode yang kita pelajari jauh berbeda dan apa yang kita caripun berbeda.
----
Pak kiai: Maksud anak muda? Ajaran Islam kan methodenya hanya dua saja, yaitu Al Quran dan Al Hadist. Yang lain bagi saya hanya hanya embel-embel.
----
Guru mursyid: Betul. Bolehkah saya bertanya?
----
Pak kiai: Silahkan saja, asal masuk akal.
----
Guru mursyid: Betul. Harus memakai akal. Islam, sekali lagi, Islam adalah ilmiah dan masuk akal, Dalilnya: "Tidak Wajib Beragama Bagi Yang Tidak Berakal". Harus ada keselarasan antara ayat yang kita telusuri dengan akal sehat dan commonsense. Sudahkah pak kiai memahami makna dan membuktikan surat An Nuur ayat 35?
----
Pak kiai: Belum (pak kiai menjawab dengan agak ragu)
----
Guru mursyid: Bagaimana dengan surat Ar Rahman ayat 17?
----
Pak kiai: Be...lum. (pak kia menjawab lirih dan agak terbata)
----
Guru mursyid: Menurut saya tampaknya methode kita yang berbeda. Pak kiai mencari surga sedangkan saya mencari Pemilik surga atau saya sebut "Inna lillahi wa ina lillahi roji'un" - Asal (dari) Allah kembali (ke) Allah. Kata" dari" dan "ke" tidak saya sebutkan atau saya beri tanda kurung, sebab Tuhan yang Maha Tinggi, Yang Maha Meliputi, Ada "dimana-mana". Jika saya memakai kata "dari" dan "ke" menjadikan seolah Tuhan Yang Maha Meliputi menjadi "terikat" dengan di satu tempat dan / atau arah.
Menurut pak kiai apa yang kekal?
----
Pak kiai: Hanya Allah yang kekal.
----
Guru mursyid: Betul. CiptaanNya tidak ada yang kekal. Jadi "surga" yang isinya bidadaripun tidak kekal. Apakah ini tidak membuat pak kiai mau berfikir?
----
Pak kiai terdiam, tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Nabi Adam yang lebih mulia dari kita gagal bersaing dengan iblis dan terusir dari surga karena iblis ternyata lebih licin. Siapakah diri pak kiai bila dibanding nabi Adam?
Nabi Adam terusir dari surga tetapi iblis masih berada disurga sampai saat ini. Iblis memohon kepada Allah agar diberikan tangguh dan Allah mengabulkannya. Silahkan pak kiai baca surah Al A'raff ayat 14-17, Al Hijr ayat 36-38, Shaad ayat 79-80. Jadi kalau pak kiai mencari surga artinya pak kiai akan kembali dilahirkan kebumi kembali karena masih mengharapkan "bidadari-bidadari" yang cantik, masih bertemu dengan Iblis kembali, masih ingin melihat surga yang dibawahnya mengalir sungai-sungai jernih, gunung-gunung yang hijau, pak kiai belum melepaskan diri dari lingkaran kelahiran dan kematian karena masih mendambakan nafsu rendah dan serba waaaahh yang ditawarkan Iblis.
Bagaimana mungkin pak kiai mencari Allah, ujudnya saja pak kiai tidak tahu karena pak kiai tidak paham marifatullah, apalagi hakekatNya. Pak kiai hanya paham dan "latah" sebatas dongeng yang pak kiai terima sejak kanak-kanak dan disimpan serta diyakini sampai sekarang tanpa diolah, dikaji dan diselaraskan dengan nalar yang berkembang sejalan dengan bertambahnya ilmu, kecerdasan dan umur. Dengan latah dan tanpa pemahaman yang sehat pula pak kaiai menyampaikan kepada putra bapak dan lain-lainnya.
Mudah-mudahan pak kiai paham apa yang difirmankan Allah dalam surah Al Waaqi'ah ayat 7 sampai dengan ayat 10. Saya pribadi tidak ingin masuk golongan kanan dari tiga golongan tersebut, karena saya tidak ingin kembali ber"gaul" dengan nafsu rendah lagi dengan masih mengharapkan di "Surga" bertemu bidadari-bidadari cantik. Mengapa tidak menjadi golongan lainnya saja, bukankah masih ada satu golongan lain lagi yang lebih mulia?, yaitu golongan mereka yang tulus dan ikhlas, golongan yang menyembah Allah bukan karena pamrih mengharap "pahala" Nya.
Betulkah pak kiai sudah berumur sekitar 75 tahun?
----
Pak kiai tidak menjawab.
----
Guru mursyid: Saya hitung-hitung pak kiai sudah dapat bonus sekitar 15 tahun dari rata-rata umur orang Indonesia yang secara statistik rata-rata hanya berumur sekitar 60 tahun saja. Bolehkan saya bertanya lagi?
----
Pak kiai:.......... Silahkan??!!
----
Guru mursyid: Saya mengajarkan kepada ikhsan-ikhsan tentang syareat dari bawah dan bersamaan juga mengajarkan hakekat dari atas kebawah. Jadi bertemu ditengah-tengah, sehingga mereka memahami dzat dan benda maupun hal-hal yang sering diperbincangkan oleh masyarakat umumnya, juga hal-hal lain yang sebenarnya sama yang dibicarakan dengan bahasa yang berbeda dalam syareat hingga hakekat. Dan syareat /tarekat pun menjadi cepat selesai karena sudah ada keselarasan pemahaman tentang apa yang dibicarakan disertai pembuktian. Sudahkan pak kiai memahami dan membuktikan bintang yang (cahayanya) menembus pada surat Ath Thaariq (surat 86) ayat3 , bintang pada langit terdekat pada surat Al Mulk(surat 67) ayat 5?
----
Pak kiai: .........belum (jawabannya sudah kehilangan kepercayaan diri)
----
Betulkkah syareat arti/maknanya adalah syarat-syarat? Kalau diistilahkan seolah memasak didapur pak kiai di syareat hanya mengumpulkan informasi syarat-syaratnya saja bahwa untuk memasak syaratnya diperlukan adanya benda-benda seperti kompor atau api, panci, bahan-bahan yang akan dimasak dll. Begitu banyak bahan-bahan yang berbeda untuk masakan yang berbeda pula, seperti kata pak kiai begitu banyak "amalan" yang tidak selesai-selesai.
Lalu tarekatnya, untuk jalannya pak kiai harus pergi kepasar, berbelanja, membersihkan dan memotong bahan-bahan yang akan dimasak, mengulek bumbu-bumbuan dll apapun yang perlu dikerjakan sebagai cara memasak yang sehat dan benar. Mau belanja bahan-bahan lain yang gak perlu? mau menambah beban yang tidak perlu? Cukup tidak waktunya (umurnya)? Mau merepotkan diri dengan yang tidak perlu? Saya anjurkan jangan!
Barulah makrifatnya, istilahnya semua bahan dasar dan bumbu-bumbu yang memang perlu dan WAJIB ada dimasak dan dicampur/bertemu/bersatu dalam satu wajan atau panci.
Selesai dimasak barulah pak kiai bisa merasakannya, mendapatkan HAKEKAT nya "Oh rasanya sayur asem itu seperti ini rupanya". Disinilah akal sementara kita lepaskan sebagaimana juga malaikat Jibril terpaksa harus ditinggalkan oleh Nabi, di "puncak" hakekat hanya manusia yang "tahu" yang bisa menyelesaikan hal ini.
Disini, ichsan sudah paham dan mengerti apa yang diperTuhankan sehingga syahadatnya syah, tidak disesatkan oleh macam-macam ibadah yang tidak perlu dan tidak bermanfaat - hanya kosmetik saja - sampai "terkubur" bermacam-macam yang berdalih sunnah ini dan sunnah itu, sampai akhirnya manusia tidak bisa bekerja, dicap tidak produktif oleh kaum lain, bukan mereka-reka dan mengira-ngira saja jadi bukan sumpah palsu seperti selama ini pak kiai ucapkan. Bukankah menusia dilarang Tuhan bersumpah palsu? Apakah pak kiai anggap nabi Muhammad tidak mampu membedakan kata "bersaksi" dengan "percaya", kemudian beliau salah menerapkannya dalam bersyahadat? Nabi kercerdasannya tinggi dibandingkan manusia seperti kita ini, beliau tidak mungkin salah memilih kata dan kalimat, tetapi kita yang salah menerapkan karena sudah dicekoki dan terkecoh dogma.
Hari ini dalam usia senja pak kiai belum juga menyelesaikan ilmu syareat yang sangat banyak tidak ada habisnya dan menyita waktu pak kiai karena "tertimbun" amalan-amalan pak kiai. Pak kiai hanya masih sibuk mengumpulkan syarat-syarat, kapan pak kiai akan mulai "masak"? Kapan pak kiai akan mulai mencicipi? Kapan pak kiai mulai bisa membedakan "rasanya sayur lodeh dengan sayur asem?". Kapan pak kiai akan mulai menunaikan ma'rifat sampai ke hakekat?
Mengapa pak kiai tidak memilih jalan / methode yang pendek dan tepat tapi banyak manfaatnya dan cepat sampainya? Masih sempatkah pak kiai membuktikan ayat-ayat yang saya sebutkan tadi sebelum ajal? Tanyakan kepada putra pak kiai pengandaian saya ini "Apakah seorang kapolres akan bersedia menerima permintaan seorang pesakitan pencuri ayam untuk dipertemukan dengan Kapolres di tahanan?" Tentunya si pesakitan hanya akan menjadi bulan-bulanan "tahanan miskin" yang lain maupun "oknum-oknum". Apalagi Allah, Yang Maha Tinggi tentu Beliau tidak mau menemui mahluk pesakitan yang belum pernah menemui dan mengenalNYA disaat hidupnya, apalagi jika orang itu gemar menista orang lain walaupun pemahamannya sendiri masih hanya tebak dan terka tanpa pembuktian. Akan menemuiNya setelah kita mati? Nasi sudah menjadi bubur. Apa yang akan ditanyakan Allah kepada mahluk seperti itu? Tentang "pertemuannya dengan Allah"? jelas tidak akan paham. Tentang bukit Tursinanya? Tentang gua Kahfi atau gua Hiranya? Tentang surga dan nerakanya? jawaban yang akan diberikan tentu monotype dan klise hanya sekedar "Katanya demikian...., yang saya dengar dari kata dan dongeng anak-anak sejak saya kecil yang demikian itu seperti ini dan itu"....... Semua serba katanya. Saya tidak mau tebak dan terka seperti itu, Islam adalah agama akal dan ilmiah (begitu juga agama lain). Senja bagi pak kiai sudah hampir lewat sambung Guru mursyid mantap.

Suasana menjadi hening, kaku dan dingin beberapa saat, pak kiai tercenung melihat ke lantai. Beruntung putranya masuk dan mengajak Guru mursyid untuk diperkenalkan kepada seorang kerabat dekatnya.

Saya mencoba melihat dari segi humaniora atau juga dari segi lain, kalau memungkinkan / boleh.
Kebenaran tentang suatu subjek juga objek tentu tergantung dari sisi mana kita memandang serta kepentingannya yang terkait. Kepentingan ekonomikah (materi/uang)?, politiskah?, gengsikah? tidak mau berfikir logiskah? atau takut bersebrangan dengan mayoritas walaupun pendapat mayoritas tidak masuk diakal (dengan alasan sakral, yaitu; dogma!) sehingga rela menjadi beo. Kita tidak dapat mengatakan diri kita paling benar. Tapi bukankah agama sekali lagi agama Islam disebutkan sebagai agama akal dan ilmiah? Kalaupun tidak atau jauh dari ilmiah, dogmapun seharusnya setidak-tidaknya tetap ada dasarnya yang masuk akal secara nalar.

Renungkan, dua puluh orang yang duduk melingkar mengelilingi Gurunya masing-masing akan memberikan jawaban berbeda-beda ketika ditanyakan pendapatnya tentang ucapan Gurunya. Ada yang menjawab "Saya duduk dibelakang beliau, jadi saya tidak mendengar dengan jelas", ada yang menjawab "Saya agak mengantuk dan topiknya kurang menarik jadi saya tidak memperhatikan", ada yang menjawab dengan sinis "Tidak tahu!" karena sebelumnya baru saja ditegur oleh Guru karena lupa membawa tugas pencil 2B, dll, dll.
Macam-macam jawaban bisa terjadi, padahal pertanyaannya hanya satu: "Bagaimana tadi mimik Guru waktu bercerita?". Tempat dimana dia murid duduk (tempat atau juga zaman) nya saja sudah berbeda, bahkan dua orang duduk berpangkuanpun tinggi rendahnya derajat sudut pandang matanya pasti berbeda. Apalagi murid yang duduk membelakangi guru atau mengantuk sudah pasti jawabannya ngawur. Itu Sunatullah, tak ada yang bisa membantah. Apalagi kalau kita melihat maqam setiap murid yang bisa jadi sangat bervariasi. Itulah kenyataannya yang bisa terjadi pada mahluk manusia dari zaman ke zaman. Nama zamannya saja yang berbeda. Intinya, zaman bisa berbeda tapi manusianya ya sama saja yaitu terikat dengan kodrat kelebihan dan kekurangannya masing-masing dan terutama terikat kepentingan pribadi atau golongannya.

Renungkan sebuah permainan yang dilakukan oleh dua puluh orang yang berbaris kebelakang. Murid paling depan diminta Guru untuk membaca dalam hatinya sebuah kalimat yang ditulis sendiri oleh Guru dengan tangannya di secarik kertas. Kemudian setiap murid secara berantai diminta untuk membisikan kalimat tersebut kepada masing-masing teman di belakangnya. Sehingga ketika sampai pada murid ke dua puluh atau murid paling belakang dan diminta untuk menceritakannya kembali maka apa yang disampaikan sudah jauh dari apa yang dituliskan oleh Gurunya. Lalu bagaimana secara akal sehat mengenai pesan berantai baik tertulis apalagi tradisi lisan yang disampaikan berantai melibatkan berpuluh-puluh generasi manusia yang menyebrangi rentang waktu seribu empat ratus tahun? Terlebih lagi jika"pesan berantai" tersebut bukan ditulis oleh Guru sendiri, tetapi oleh orang lain hanya atas dasar budaya lisan turun temurun dari generasi ke generasi - "Teman saya pernah bercerita bahwa dulu kala teman kakeknya pernah mendengar bahwa kawan dari teman kakeknya si A pernah..........dst dst dst". Hanya sekedar- "Katanya". Nabi tidak mungkin alpa untuk menuliskan pesan-pesannya selagi hidup. Pasti beliau memang memiliki alasan dan maksud yang sangat penting untuk tidak meninggalkan pesan tertulis.
Kalau ibu-bapak, saudara-saudari sudah naik haji, menurut saya jawabannya ada di kitab Terjemahan Alquran Bahasa Indonesia yang dihadiahkan oleh Kerajaan Saudi Arabia (dihadiahkan atas nama alm. Raja Fahd) saat ibu-bapak, saudara-saudari sudah selesai naik haji. Bukalah dan simak baik-baik yang dijabarkan pada kitab Al Quran dan Terjemahnya, Isi Muqaddimah, Bab Lima Nomor 2 abjat b. Hadist dan Mushthalah Hadist. di halaman 96. Dan juga bagi mereka yang meyakini kebenaran Hadist Shahih Bukhari dapat membaca hadist no1979 halaman 184, Kitab Terjemah Hadist Shahih Bukhari jilid IV, penterjemah: H. Zainuddin Hamidy - H. Fachruddin Hs - H. Nasharuddin Thaha - Johar Arifin - A. Rahman Zainuddin M.A. Terbitan "Widjaya" Jakarta. Cetakan ke 13 Tahun 1992.
Sengaja saya tidak kutib isinya sehingga hanya mereka yang memang ingin tahu saja dan memang besar rasa keinginan tahuannya serta memiliki keseriusan saja yang akan mengerti.
Bagaimana dengan dogma yang harus disakralkan? Semuanya kembali kepada nalar kita masing-masing, mungkin ini salah satu ujian untuk keilmiahan ibu-bapak sebagai insan yang berpendidikan "wah" dan dikaruniakan akal oleh Allah. Atau mungkin ini memang ujian bagi nilai kemanusiaan kita semua masing-masing? Semua merdeka untuk menentukannya sendiri.
Blog ini semata untuk mereka yang meyakini bahwa keindahan, keagungan dan kebesaranNya justru tampak lebih jelas dan indah didalam perbedaan-perbedaan dan keaneka-ragaman yang diciptakanNya dan disamping untuk menambah wawasan bagi saudara-saudara kami yang meyakini adanya kedamaian universal didalam kebenaran Islam. Bagi saudara-saudara kami yang merasa sudah mencapai Kebenaran pada jalan berbeda, kami ucapkan selamat dan terimakasih kami atas toleransinya yang sudah diberikan kepada kami. Jika pemahaman kami ini terasa mengganggu kenyamanan Ibu / Bapak / Saudara-saudari kami mohon keichlasannya untuk memaafkan, biarkanlah kami tetap dalam upaya 'pencarian' kami dan kami persilahkan menutup blog ini atau silahkan tetap membaca sejauh tidak merasa kenyamanannya terganggu.