Arsip

Saturday, August 16, 2008

Aya-ayat Mutasyabihat. Mau Diapakan?

1. PENDAHULUAN
Sejak masih di sekolah pendidikan dasar, kita sudah mendapat pelajaran agama. Kalau disimak sejak saat itu sampai dengan sekarang, materi yang diberikan sedikitpun tidak pernah berubah atau berkembang, methodologynya masih sama dan sebangun yaitu hanya mengulang-ulang ayat-ayat muhkamaat yang itu-itu saja, dan semua tetap disampaikan sekedar sebagai dogma saja. Yang berbeda hanya namanya, waktu kanak-kanak disebut pelajaran agama, setelah dewasa disebut kuliah agama, kuliah subuh, siraman rohani, tausyiah, atau apapun sebutannya. Dulu dalam kelas disekolah sekarang dalam majelis ta’lim. Yang lain yang juga berubah adalah pendengarnya, dulu kita masih kanak-kanak sekarang mungkin sudah S3 atau bahkan mungkin sudah beruban (Sampun Sepuh Sanget).
Makalah ini membahas dari sudut pandang yang lain dari biasanya, keluar dari lingkup dogma yang umum dilakukan dengan lebih mengedepankan cara berfikir yang lebih rational sifatnya. Untuk Ibu / Bapak yang memperoleh makalah ini dari saya, sebaiknya tidak menyampaikan isinya kepada orang lain apalagi kepada mereka yang belum ‘dewasa’ berfikir, juga tidak usah membahasnya dengan mereka. Kajian masalah rohani adalah masalah keyakinan. Keyakinan rohani bagi sebagian besar umat agama apapun umumnya hanya menerimanya sebagai dogma. Walaupun masyarakat umum sering mengatakan disatu hal bahwa agama Islam adalah agama ilmiah, tapi dilain hal mereka beranggapan bahwa agama tidak perlu pembuktian dan tidak perlu dipertanyakan, tetapi cukup diyakini saja kebenarannya dan wajib ditelan bulat-bulat sebagai dogma. Sehingga tulisan ini bagi masyarakat umum dapat diartikan sebagai bid’ah, sesat, dan dapat dituduh ‘menodai’ agama atau keyakinan mereka.
Memang Allah banyak memfirmankan tentang kekafiran dan hal-hal maupun pelanggaran-pelanggaran yang harus dijauhkan dan ditinggalkan oleh manusia yang ingin menemukan jalannya ‘kembali’ kepadaNya, tetapi perlu kita pahami bahwa Allah dalam firman-firmanNya tidak pernah memberikan hak, kuasa atau mandat kepada kita manusia -siapapun juga dia- untuk memberikan label kafir atau murtad kepada orang lain. Allah menurunkan seluruh firman-firmanNya agar manusia dapat berbuat amal kebaikan dalam arti sebenar-benarnya. Firman-firmannya disampaikan untuk diamalkan oleh manusia untuk atau kedalam dirinya sendiri (esoteric), bukan untuk meneropong orang lain atau keluar dari dari dirinya (exoteric). Jika memang diperlukan untuk disampaikan kepada orang lain, maka disini diperlukan pemahaman yang mendalam dan kebijaksanaan dan wawasan yang luas, toleransi yang besar dan pengalaman tentang apa yang akan disampaikan. Pemahaman yang sifatnya exoteric ini jika tidak didasari oleh wawasan yang luas, budaya yang tinggi dan madani hanya akan menimbulkan bencana yang tidak habis-habisnya atas umat manusia oleh manusia dari skala yang kecil hingga yang besar (holocaust).
Menurut saya hukum kebenaran yang mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Banyak contoh-contoh dalam sejarah yang sudah terjadi yang membuktikan bahwa apa yang dulu menurut manusia benar kenyataannya pada hari ini atau dimasa depan bisa saja menjadi sesuatu yang berbeda 180 derajat.

Dilain hal saya tentu ‘agak’ setuju jika khalayak umum mengatakan bahwa ‘kitab suci’ mutlak benar, sayangnya yang membaca dan mengamalkan kebenaran mutlak tersebut adalah manusia juga, yang sudah jelas sifatnya tidak sempurna. Hal itu menyebabkan di sisi manusia pemahaman setiap individu bisa saja berbeda atau bahkan saling bertentangan karena bias. Bisa dibiaskan oleh kefanatikan kepada agama, imam / golongan, seharusnya manusia hanya fanatik kepada Tuhan Yang Maha Kuasa saja. Yang lebih buruk lagi bias karena ada kepentingan pribadi, politik, atau kepentingan ekonomi (dapur dan materi) dari yang bersangkutan.
Walaupun begitu, hal tersebut tentu sah-sah saja, bukankah bagi mereka yang lebih meng’unggul’kan Al Hadist diatas atau dibandingkan Al Qur’an tentu paham ada hadist yang menyampaikan bahwa : ”Perbedaan diantara umatku adalah rahmat”.
Betapa Allah dan seluruh utusanNya meng’indah’kan perbedaan. Indah sekali jika hadist diatas diamalkan secara konsisten. Jelas, Nabi Muhammad bin Abdullah, terlebih lagi Allah, mengizinkan perbedaan. Bayangkan jika di ‘taman’ bumi ini sejauh mata memandang hanya tumbuh rumput hijau subur saja, tanpa bunga yang beraneka dan berwarna-warni maupun aneka tumbuh-tumbuhan lainnya.
Menyitir apa yang ditulis Abu Irsyad dalam buku “Menyingkap Rahasia Shalat & Puasa sebagai Sarana Menemui Allah”, terbitan Pustaka Aladdin, sbb;
“Sudah waktunya umat Islam saat ini, mendalami pengetahuan agama, baik yang tersirat maupun yang tersurat. Hal ini sangat diperlukan karena banyaknya keluhan di masyarakat yang mempertanyakan sosok Islam yang sesungguhnya, Islam yang rahmatan lil alamin. Sosok Islam yang melihat segala perbedaan sebagai rahmat bukan malah melihat segala perbedaan sebagai ancaman. Sebuah sosok Islam yang arif dan bijaksana. Bukan sosok Islam yang sangar dan mudah sekali melontarkan kata-kata kafir kepada seseorang atau sekelompok orang yang memiliki perbedaan persepsi dalam meyakini agama Islam. Karena hanya Allah lah yang berhak menentukan seseorang itu kafir atau tidak”.
Keyakinan Ibu / Bapak boleh dan dapat berbeda dengan saya, jadi tidak berarti bahwa keyakinan saya paling benar, apalagi mutlak benar, nyatanya banyak firman-firman Allah yang muthasyabihat diturunkan yang sifatnya multi tafsir. Jika kita ‘pemalas’ maka kita akan mendapat kemalasan dari firmanNya, tetapi jika kita mencintai sesama maka firmanNya akan melimpahkan kasih kepada kita, jika kita ‘cupat’ dan ‘culas’ tentu kecupatan juga yang akan kita peroleh. Tinggal kita sebagai manusia tergolong manusia yang macam apa maka tentu itulah yang kita pilih. Yang penting kita tahu akibatnya, kalau tidak didunia ini minimal dihari saat kita masing-masing berbangkit. Jadi jika Ibu / Bapak merasa ber’seberang’an dengan apa yang saya kemukakan disini, anggap saja hal ini sebagai wacana pengetahuan umum saja.
Menurut pendapat saya, sebelum ada pembuktian, masalah rohani adalah hal yang sangat relatif, dan pembuktianpun intinya menyangkut pengalaman rohani seseorang yang sifatnya sangat pribadi, immaterially- subjective. Jika disampaikan kepada orang lain yang tidak memiliki dasar pemikiran yang bijaksana, luas dan terbuka maka pembahasan hal ini dapat memancing perdebatan kusir karena berbeda persepsi, sudut pandang dan maknanya. Tapi pada sekelompok orang yang batinnya sudah ‘melek’, hal tersebut bisa berubah menjadi immaterially-objective karena setiap orang yang ‘fakir’ /1 kepada Allah di ‘jalan yang lurus’ akan mendapat pembuktian pengalaman rohani yang identik.
Banyak orang-orang yang mengelompokan diri secara fanatik buta, menganut dan mengimani kata dan pendapat seorang ulama atau imam. Baik ulama atau imam yang kondang maupun yang pesohor. Ini pun sangat baik, yang penting kita tidak ‘menghakimi’ orang lain yang berbeda dengan keyakinan kita dan semua ini adalah bukti hak asasi dan kebebasan individual yang dianugerahkanNya kepada manusia. Demikian juga di lain pihak, sah saja jika seseorang memiliki pendapatnya sendiri pribadi, walaupun pendapatnya tidak searus atau mungkin bersimpangan jalan dengan ‘main stream’. Walaupun banyak diantara mereka yang demikian hanya menyimpannya dalam hati saja, yang demikian tentunya lebih bijak, atau ada juga yang hanya menyampaikan kepada kelompok kecil yang terbatas dikalangan mereka sendiri saja, itupun juga terbatas pula pada mereka yang bersikeras memang ‘meminta-minta’. Inilah keanekaragaman. Yang penting kita tidak saling memaksakan kebenaran subjective kita kepada pihak lain.
Saat ini kita dapat melihat sendiri banyak orang yang mengaku umat yang shaleh tetapi gemar menghancurkan masjid-masjid yang mereka anggap berbeda dengan mereka, gereja-gereja dll. Pada akhirnya mereka merampas, menguasai tanah dan lahan dan bangunannya. Tidak demikian Allah memerintahkan hambanya berbuat. Janganlah kita menjadi bagian yang merusak sebab hal itu dilarang didalam surah Al Hajj QS 22 :40 /2
Sejarah membuktikan bahwa -setidaknya dalam Al Qur'an banyak disinggung tentang hal ini (satu diantaranya adalah QS 22:67 /3)- pengalaman serta ajaran rohani setiap nabi sejak dari nabi Adam sampai dengan Isa Al Masih atau Yesus Kristus maupun nabi Muhamad bin Abdullah, methode pendekatan penyembahannya terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa satu sama lain tidak 100% identik, bahkan berbeda-beda. Tetapi semua itu tetap mutlak dalam satu landasan kebenaran maupun tujuan yaitu penyembahan kepadaNya yang menuntut dari manusia pelakunya kepasrahan (penghambaan diri) total. Kepasrahan dalam arti yang sebenar-benarnya bukan sekedar pemanis dibibir. Dalam keanekaragaman inilah, Allah menunjukan sifat-sifat Maha KebesaranNya, Maha KemurahanNya, Maha KayaNya, serta Maha BerkehendakNya. Dalam QS Al Maidah 5:48 /4, tersirat Tuhan menciptakan bermacam-macam agama semata-mata memerintahkan agar umat manusia berlomba-lomba berbuat kebajikan bukan saling menyakiti. Perlu ditekankan pula mengapa kita tidak boleh saling menyakiti atau mencaci karena masing-masing hanya karena menganggap atau menduga dirinya paling benar, bukankah dalam ayat tersebut Allah memfirmankan dengan jelas bahwa Allah baru akan menerangkan semua perselisihan dan perbedaan tersebut kelak. Jadi kenapa kita harus saling membunuh karena masing-masing sudah menganggap dirinya paling benar, padahal kita belum pernah membuktikannya sendiri! Apalagi jika Ibu / Bapak dalam kaitan tersebut mau dan ‘jujur’ dalam memahami, mengamalkan dan menghormatinya lebih jauh ayat sebelumnya (QS 5:47 /5). Itu adalah perintah Allah kepada manusia untuk menghormati, memahami pihak lain.
Sebenarnya secara faktuil pun, jika kita jujur terhadap diri kita sendiri, banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang meng’indah’kan perbedaan keyakinan dalam praktek ibadah, maupun keimanan dan hal tersebut dibenarkan Allah (baca QS 22:40 /6, QS 2:62 /7, QS 5:69, QS 22:17 /8 dan masih banyak lagi). Tapi sayang karena banyak orang yang tidak ‘merdeka’ akibat sudah termakan dogma dan kefanatikan buta terhadap imam, kyai atau golongannya (bukannya fanatik kepada Tuhan Yang Maha Kuasa), tanpa mereka sadari, ayat tersebut mereka ‘belokan’ untuk memfasilitasi keegoisan mereka. Sering kita mendengar ada yang mengatakan bahwa ayat-ayat tertentu sudah kadaluwarsa atau itu hanya berlaku pada zaman dahulu kala saja, atau mereka katakan ayat-ayat tersebut adalah ‘dongengan’ orang-orang dahulu kala. Menurut mereka bahwa hanya mereka yang benar, berbeda dengan mereka berarti kafir! Padahalnya jelas dalam QS2:62 dan QS5:69 kaum Shabiin pun (kaum yang menyembah matahari atau bulan,bintang dan kaum yang menganut agama dari nabi-nabi purba, dll) tetap mendapat rahmat dari Allah dan mereka tidak perlu khawatir. Silahkan saja jika ada orang yang mau membelokan ayat ini dan menganggap yang berbeda dengan mereka adalah kafir. Pendapat itupun sah saja selama mereka tidak melanggar hukum formal dunia dimana mereka berpijak. Sebab kebebasan adalah rahmat dari Tuhan yang dasarnya adalah kasih dan keadilanNya.
2. DASAR LANDASAN
Semua yang akan disampaikan agar tidak menyimpang, utamanya saya dasarkan hanya pada Al Qur’an saja dan untuk sementara hanya pada tiga ayat dibawah ini saja dulu (sambil berjalan tentu akan berkembang dalam sangkut pautnya dengan ayat-ayat yang lain).
Ketiga ayat-ayat sandaran tersebut adalah :
QS As Shaff 61:3; “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.”
QS Ali Imran 3:188; ”Janganlah sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah mereka kerjakan dan mereka suka supaya dipuji terhadap perbuatan yang belum mereka kerjakan janganlah kamu menyangka bahwa mereka terlepas dari siksa, dan bagi mereka siksa yang pedih.”
QS Al Furqan 25:72; ”Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
Intinya, berdasarkan ketiga sandaran awal ayat-ayat tersebut, ingin saya sampaikan bahwa, sangat besar kebencian Allah karena kita menyampaikan apa yang belum kita alami sendiri. Dan kita dilarang memberikan kesaksian palsu.
Kita harus paham bahwa dalam melaksanakan dan menyampaikan firman-firman Tuhan, besar sekali perbedaan arti kata maupun makna antara ‘Sesuatu yang sudah kita alami sendiri’ dengan ‘Sesuatu yang sudah kita dengar atau pelajari’. Dalam konteks bahasa Indonesia, makna dan maksud kata-kata tersebut mudah dipahami, jadi saya tidak perlu menjelaskannya lagi arti perbedaan tersebut dalam kosa kata bahasa Indonesia. Apakah sudah dialami? Kalau kita merujuk firman diatas, kalau belum mengalami sebaiknya hindari bicara tanpa dasar pengalaman. Tetapi ‘tafakuri’ dulu diri sendiri sampai kita mengalaminya, baru kita menyampaikannya pada orang lain. Lebih baik lagi jika kita tidak mendiskusikan dengan orang lain, kecuali dengan mereka yang memang sudah jelas-jelas ‘fakir’ /9 kepada Allah. Oleh karena itu berhati-hatilah jika kita berkhotbah atau menyitir firman-firman Allah yang memerlukan pembuktian tetapi masih ‘diluar’ jangkauan kemampuan kita -karena kita sendiri belum pernah mengalaminya- seperti disinggung dalam ayat-ayat diatas sebelumnya. Hal ini semua harus benar-benar dicamkan setiap saat kita menelaah hal-hal yang menyangkut kajian rohani, apalagi jika kita sedang menelaah kajian rohani yang paling mendasar dan crucial.
Apabila kita banyak menderas ‘nama-nama’Nya ada hal yang perlu kita ingat bahwa ‘nama’Nya adalah tetap nama, sedangkan ‘Dia’ adalah ‘Dia’, ‘nama’Nya bukanlah ‘Dia’. Menderas saja belum cukup, kecuali jika kita memang berniat mencari ‘nama’Nya saja. Perlu juga kita pahami bahwa kata ‘mengingat’ Allah maknanya adalah berbeda jauh dengan ‘menyebut’ nama Allah dalam arti kosa kata pun artinya sudah jauh berbeda.
Biasanya kajian-kanjian keagamaan di masyarakat umum hanya ramai disyi’arkan tetapi sangat tabu untuk dipertanyakan, didiskusikan apalagi dibuktikan. Hal itu sering disampaikan dengan gaya bahasa yang populer, kadang kocak seperti dagelan, dan umat pendengarnya hanya ‘berkewajiban’ untuk mengangguk-anggukan kepalanya saja tanpa harus mencernanya. Saat pulang, kita pun memperoleh manfaat ‘oleh-oleh’ dongeng yang kadang-kadang lucu untuk anak-cucu kita dirumah. Dan, tambahan lain, kitapun ‘seharusnya’ menjadi tahu perbuatan apa yang baik atau buruk dan rendah, walaupun nyatanya korupsi -dalam bentuk yang beragam- bahkan sangat bertambah merajalela dan bahkan banyak diantara pelakunya memiliki gelar terhormat.
3. APA YANG HARUS DIBUKTIKAN DAN DIALAMI
Perlukah kita membuktikan ayat-ayat kitab suci?, setidak-tidaknya awalnya membuktikan (sebagian dulu) ayat-ayat yang crucial saja? Jawabannya terpulang kepada kita sendiri menyangkut apa yang kita butuhkan dari kitab suci. Apakah kita akan menyikapi kitab suci cukup sebagai buku dongengan kisah-kisah zaman kenabian saja? Atau sebagai membaca buku biography nabi-nabi saja? Atau sebagai buku pegangan yang sudah cukup dengan dipegang-pegang saja? Atau sebagai buku ilmiah seperti yang selama ini dibangga-banggakan semua orang? Atau utamanya sebagai pedoman pokok mencari keselamatan di dunia dan akhirat? Semua terpulang kepada kita masing-masing. Itu adalah hak asasi masing-masing untuk memilih. Tidak ada yang bisa memaksa kita, bahkan Allah pun tidak pernah memaksa.
Mungkin untuk menjawab perlu atau tidaknya kita membuktikan hal tersebut, cobalah kita pancing diri kita dengan pertanyaan-pertanyaan ‘menggelitik’ sebagai berikut, “Mengapa Tuhan memberikan akal kepada manusia dan mengapa umumnya akal tersebut berkembang mengikuti kedewasaan kita?”, “Mengapa disebutkan bahwa manusia adalah mahluk paling sempurna dan bukannya Malaikat atau Iblis?”, dan “Apakah sudah benar jawaban yang selama ini saya terima?”. Itu semua diatas adalah sekedar pertanyaan sederhana yang pernah menggelitik dibenak saya.
Kalau masih tertarik, mari sekarang kita mulai membahas hal yang ‘agak’ nyeleneh dan rawan.
Sekedar sebuah contoh saja untuk pembukaan, saya berikan contoh ‘sederhana’ yang nyata-nyata ada didepan mata kita karena benda tersebut masih terlihat dari dunia tempat kita hidup ini, yaitu matahari. Banyak ayat-ayat yang menyinggung matahari. Salah satunya hal ini disinggung dalam ayat dari surah Ar Rahman (QS55:17 /10), dimana difirmankan bahwa tempat terbit dan terbenamnya Matahari itu masing-masing ada dua buah, sehingga timbul pertanyaan sebagai berikut, “Sudahkah kita membuktikan dan menyaksikan bahwa ada dua tempat matahari terbit dan ada dua tempat terbenamnya?”. Musykil? Padahal Al Qur’an menyampaikan demikian adanya. Apakah kita akan menyangkalNya?
Pernahkah Ibu / Bapak melontarkan pertanyaan tersebut diatas maupun pertanyaan-pertanyaan lain sebelumnya kepada guru mengaji atau kepada uztad? Dan puaskah Ibu / Bapak dengan jawaban yang diberikan? Baik jawabannya adalah ‘puas’ ataupun ‘tidak puas’, segera tanyakan guru mengaji kita, ”Bisakah uztad membuktikan ayat-ayat yang uztad sampaikan?” kemudian tanyakan, ”Kapan?”. Bila jawabannya adalah ; ”Kelak nanti kalau kita sudah mati!”, untuk mendapatkan jawaban seperti itu kita cukup bertanya saja kepada anak-anak tidak usah kepada seorang ustad. Dari pada terlambat sebaiknya Ibu / Bapak bersegera mencari guru ngaji / uztad lain yang sejak awal dengan tegas menyatakan mampu menjelaskan dan mengantarkan sampai kita dapat membuktikan / mengalami hal-hal penting dan tersembunyi yang disampaikan Allah dalam firman-firmanNya. Tentunya selagi kita masih hidup didunia ini, sebab Al Qur’an adalah pedoman untuk manusia semasa ia hidupnya bukan pedoman untuk orang yang sudah mati.
‘Carilah ustad lain yang mampu mengantarkan muridnya sampai khatam’, ini adalah hanya salah satu saja dari sekian banyak makna rahasia yang mendalam dari perintah Allah yang tersembunyi dalam surah An Nisa QS4:66 /11.
Puji syukur kepada Yang Maha Pencipta jika Ibu / Bapak ternyata sudah membuktikannya sendiri, artinya Ibu / Bapak hanya tinggal ‘mempertajam’ saja. Jika belum cobalah kita bertanya kepada diri kita sendiri; “Berapa umur kita saat ini?” dan “Secara statistik berapa kira-kira sisa umur kita?”, “Bagaimana dengan pembuktian ayat-ayat yang lainnya?”, “Kapan kita akan membuktikannya?”.
Sebelum ajal menjemput tidak adakah keinginan sebenar-benarnya membuktikan kebenaran isi kitab suci yang selalu kita bawa hilir mudik tersebut? Atau kita merasa cukup dengan hanya sekedar meng ‘amin’ kan saja? Atau memang kita tergolong –maaf- mahluk yang diperumpamakan Allah dalam surah Al Jumuah (baca QS62:5!!), dengan bangganya kesana kemari meng’gotong-gotong’ kitab, menceramahi orang lain (bersyukurlah jika belum memaksakan kepada pihak lain sesuatu hal yang kita sendiri tidak memahami). Padahal jika dipertanyakan sebuah ayat yang sederhana saja jawaban yang kita terima hanyalah jawaban klise dengan embel-embel ‘katanya….’, yang menyampaikannya sendiripun belum pernah berusaha membuktikannya apalagi mengalami sendiri, sehingga tidak dapat mengarahkan jawabannya ‘mendekati’ kebenaran yang dimaksud oleh Al Qur’an.
Setelah Ibu / Bapak berhasil ‘membuktikan’ sebaiknya Ibu / Bapak ingat bahwa pengalaman rohani tersebut mutlak hanya untuk Ibu / Bapak pribadi sendiri saja. Jangan sampaikan pengalaman tersebut kepada orang lain. Sebab akan sulit untuk menyampaikannya kepada orang lain, bahkan jauh lebih sulit dibandingkan menceritakan hal yang sesederhana rasa buah durian kepada seseorang yang belum pernah merasakan sendiri rasa buah durian. Sehingga akan berakibat sebagaimana di firmankan oleh Allah dalam Al Qur’an, mereka akan mengatakan bahwa itu adalah: “Dongeng orang-orang dulu”, atau akan seperti yang dialami nabi Muhamad bin Abdullah yang dituduh gila. Walau kita jelaskan sampai kapanpun, tidak akan dapat membuat orang tersebut dapat menghayati rasa buah durian sebenar-benarnya berdasarkan cerita kita, terlebih lagi akan lebih rumit jika harus menjelaskan pengalaman rohani Ibu / Bapak kepada mereka. Ini hanya bisa dengan pembuktian dalam pengalaman pribadi. Selain itu memang dalam Al Qur’an paling tidak ada dua ayat (QS12:5 dan QS18:19) yang secara tersirat yang melarang kita menceritakan pengalaman rohani kita tersebut kepada orang lain yang belum ‘fakir’ kepada Allah. Jadi pengalaman tersebut adalah rahasia diantara hambaNya dengan Allah saja.
Mengenai surah Ar Rahman (QS55:17);”Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.”, ada juga terjemahan Al Qur’an yang menyampaikannya sbb. “Tuhan yang memelihara dua Timur dan Tuhan yang memelihara dua Barat”.
Pada intinya setelah mengalami sendiri Ibu / Bapak akan setuju bahwa keduanya memiliki makna yang sama.
Harapan saya mudah-mudahan Ibu / Bapak kelak juga dapat sampai 'disana' ditempat yang sama dengan apa yang dimaksudkan oleh Al Qur'an sebelum ajal tiba. Apa yang saya bicarakan disini sama sekali bukan klenik, sulap atau sihir apalagi dongeng isapan jempol belaka (baca surah Al Qalam QS68:15 dan Al Muthaffifiin QS83:13), ayat tersebut bermakna bahwa setiap apa yang disampaikan dalam kitab suci bukan sekedar dongeng atau sekedar sebatas pengungkapan sejarah saja, jadi yakinilah bahwa hal tersebut bisa dialami sendiri secara empiris rohaniah oleh mereka yang sudah fakir kepada Allah. Ibu / Bapak pun bisa membuktikannya sendiri walaupun Ibu / Bapak bukan seorang Nabi, tidak seperti yang di syaratkan oleh kebanyakan pendapat ulama / kiyai. Keyakinan dan niat yang kuat adalah kuncinya yang diberikan Tuhan kepada kita manusia untuk dapat membuktikan firman-firmannya secara nyata sebelum ajal tiba.
Banyak orang (berpegang pada dalil yang entah didapat dari mana) mengatakan bahwa hal-hal yang diungkapkan dalam kitab-kitab suci hanya bisa terjadi dalam zaman kenabian saja. Dan pada zaman moderen saat ini menurut mereka pintu langit sudah ditutup, jadi hal-hal seperti itu tidak mungkin terjadi lagi. Tegas saya sampaikan bahwa pemahaman seperti itu tidak ada dasarnya. Sebab jelas sekali dalilnya, sebagai berikut; “Bagi mereka yang percaya akan keberadaan Tuhan, Allah itu Maha Kuasa, KehendakNya tidak terikat ruang dan waktu”. Siapapun manusia baik dia imam agung ataupun kyai agung tidak ada yang bisa membatasi laku dan kehendakNya, tidak mungkin ‘memasung’ kehendakNya. Jadi kalau pada zaman dahulu Allah mampu menghadirkan kejadian-kejadian / mujizat-mujizat tersebut, sekarangpun Allah juga tidak segan-segan menghadirkan yang hal sama, kita saja yang ‘buta’, ‘tuli’ dan tidak paham. Padahal semua itu ada atau terjadi dihadapan kita secara allegory / muthasyabihat.
Dengan Maha BerkehendakNya Allah cukup dengan mengatakan ”jadilah!” maka apapun, kapanpun dan dimanapun, kehendakNya menjadi kenyataan. Allah tidak tergantung pada fatwa siapapun! (baca Al Baqarah QS2:117). Menurut hemat saya khusus menyangkut ayat ini siapapun setuju bahwa Allah Maha Kuasa.
Kembali mengenai ayat “Dua buah Timur atau tempat Matahari terbit dan dua buah Barat atau tempat terbenamnya”, pemahamannya bukan seperti selama ini yang Ibu / Bapak baca pada catatan kaki dalam buku terjemahan Al Qur’an yang dituliskan bahwa tafsirnya sbb: “Matahari terbit dan terbenam pada tempat yang berbeda yaitu musim panas dan musim dingin”. Jika jawabannya demikian saya tergelitik untuk bertanya:”Bagaimana dengan dengan manusia yang hidup di daerah yang memiliki empat musim ?”, “Bagaimana dengan tempat terbit Matahari saat musim semi ataupun musin gugur?” Saya tidak bermaksud mencela tetapi saya hanya mengemukakan wacana untuk memperkaya khazanah pemahaman kita semua dan itu adalah pertanyaan yang logis walaupun agak kurang umum. Bukankah agama islam dikatakan sebagai agama akal?, bahkan bukankah ada yang dengan bangga mengatakan; “Islam adalah agama ilmiah”. Jadi tentunya syah-syah saja jika saya bertanya demikian.
Siapapun yang pernah sedikit belajar ilmu Astronomi tentu paham bahwa setiap hari tempat terbit Matahari bergeser dalam peredarannya, walaupun dalam peredarannya pergeseran tersebut berlangsung sedikit demi sedikit dari hari ke hari, sehingga hampir tidak terasa perubahannya jika dalam hitungan hari. Tetapi dalam kurun waktu tiga (3) bulan saja kita sudah akan membuktikan bahwa sudut bayangan tubuh kita sudah berubah, posisi terbit Matahari sudah berubah atau bergeser. Artinya matahari pada hari ini terbit ditempat yang berbeda dengan hari kemarin dan bukan sekedar di ‘dua tempat berbeda’. Jadi menurut hemat saya pendapat –Dua tempat terbit / terbenam Matahari- diterjemahkan sebagai tempat dimana Matahari terbit dimusim panas dan dimusim dingin adalah tidak mengena.
Matahari terbit yang satu sudah sering kita saksikan setiap hari, sedangkan yang kedua hanya bisa Ibu / Bapak saksikan didalam ‘gua kahfi’ atau ‘gua hira’ nya Ibu / Bapak masing-masing. Tidakkah Ibu / Bapak ingin menguak misteri ini dan mengalaminya sendiri?
SEBAGIAN DARI AYAT YANG ‘TERLUPAKAN’
Contoh-contoh tingkah-laku nabi-nabi banyak didapatkan dalam kitab-kitab suci, dibawah ini adalah beberapa diantaranya.
QS 18:110 Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini hanya seorang manusia seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan Yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
QS 33:21 Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.
Bukankah jelas bagi yang mau ‘memahami’ perintahNya pada firman tersebut, tersirat bahwa walaupun kita semua adalah manusia biasa kita harus percaya bahwa dengan usaha keras dan sungguh2 (jihad) kita dapat melaksanakan ‘semua’ apa-apa yang dicontohkan (tegasnya -diteladani-) nabi Muhammad bin Abdullah kepada kita ini. Tidak ada yang tidak bisa kita tiru / lakukan, setidaknya selidiki, laksanakan / buktikan dulu perintahNya dengan upaya keras (jihad) dengan memakai metode yang masuk akal dan benar, sesuai dengan yang difirmankanNya dalam kitab-kitab suci barulah kemudian kita berkomentar miring jika kita tidak setuju atau tidak mampu melaksanakannya.
Dengan didasarkan pada tauladan atau contoh yang diberikan Nabi Muhammad bin Abdullah artinya semua ayat-ayat crucial dibawah ini yang dialami nabi-nabi lain pun tentu kita juga harus bisa membuktikannya.
Karena masyarakat umumnya sulit dan bingung bagaimana cara menjelaskan atau menyampaikan ayat-ayat yang dianggap rumit tersebut, maka banyak sekali ayat-ayat yang hanya diberi katagori sebagai dongeng masa lalu saja. Bahkan ada yang dianggap tidak berbobot untuk disampaikan. Hal ini membuat ayat-ayat tersebut menjadi ayat-ayat yang ‘tidak populer dan terlupakan’.
Marilah, untuk menambah khazanah pemikiran kita cobalah renungkan ayat-ayat dibawah ini, begitu banyak hal yang harus kita ‘pecahkan’ sebelum ajal kita, jika memang Ibu / Bapak menganggap itu perlu.
QS 37:6 “Sesungguhnya Kami telah menghias langit yang terdekat dengan hiasan, yaitu bintang-bintang”.
Tahukah kita dimana langit terdekat itu? Padahal disinilah kelak Allah akan memberikan tanda-tanda menjelang ajal kita tiba.
QS 67:5 Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.
Melempar setan dengan batu saja sulit, tapi ayat diatas memfirmankan bahwa mengusir setan cukup dilempar dengan bintang saja. Bintang yang mana, dimana dan bagaimana? Tidak percaya?
QS 12:4 (Ingatlah), ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud kepadaku."
Sudahkah kita membuktikan sebuah bintang, bulan atau matahari turun dipangkuan dalam sujud kita kepada Allah?
QS 18:17 Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit, condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka berada dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.
Bagaimana kita membuktikan matahari terbit justru didalam ‘gua Kahfi’? Difirmankan bahwa ternyata ‘gua Kahfi’ didalamnya justru lebih luas daripada alam nyata diluarnya saat kita memasukinya. Bagaimana mungkin dialam saat ini kita dapat menemukan gua dimana jika kita masuk kedalamnya menjadi lebih luas dari pada diluar gua? Dan bagaimana kita bisa melihat matahari terbit dari kanan dan terbenan di kiri didalam gua? Jadi dimana dan apa makna ‘gua Kahfi’ ataupun ‘gua Hira’ yang disampaikan Allah?.
Apa yang dimaksud dengan ‘tujuh’ (7) pemuda yang ‘masuk’ kedalam dan ‘tertidur’ tahunan didalam ‘gua Kahfi’? Mengapa ‘anjing’ nya menjulurkan lidah, menyilangkan kaki depannya dan hanya menunggu didepan pintu gua?
QS 27:44 Dikatakan kepadanya: "Masuklah ke dalam istana". Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: "Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca". Berkatalah Balqis: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam".
Tidak inginkah kita membuktikan ‘istana kaca’ dirumah kita sendiri seperti yang dialami ratu Bilqis? Sehubungan dengan saat ratu Bilqis memandang rumah kaca, terlontar kata-kata beliau; "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam"?. Mengapa dari mulut beliau terlontar ucapan demikian? Atas permohonan guru mursyid beliau kepada Allah, yaitu Nabi Sulaiman, tersingkaplah hijab ratu Bilqis, sehingga bertepatan saat beliau mulai dapat memandang ‘istana kaca’ tersebut beliau terhenyak sadar bahwa selama ini beliau telah menzalimi dirinya sendiri karena menipu diri sendiri seolah-olah selama ini beliau sudah tuntas dan paham mengkaji firman-firmanNya dan tuntas dalam menunaikan ibadahnya. Bagaimana dengan Ibu / Bapak sendiri? itulah sebabnya Ibu / Bapak belum dapat menyaksikan ‘istana kaca’ tersebut.
Hal lain sehubungan dengan ratu Bilqis, secara harafiah bagaimana mungkin Bilqis yang seorang ratu yang memiliki ponggawa penjaga istananya berlapis-lapis dapat kehilangan kursi ‘singgasana’nya? Disini ada makna simbolis lain (allegory / mutasyabihat) yang tersembunyi yang harus kita runut agar kitapun tidak kehilangan ‘singgasana’ kita yang ‘dihadiahkan’ Allah kepada kita, karena selama hidup kita terhijab nafsu duniawi yang ‘memburu’ kita yang tidak putus-putusnya. Jadi apakah yang dimaksudkan dengan ‘singgasana’ tersebut?
QS45:13 Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir
QS16:12 Dan Dia menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami (nya),
Tidakkah kita ingin memahami makna sebenarnya dan bagaimana Matahari dan Bulan yang ditundukan Allah untuk kita?
Diatas ini hanya sebagian kecil saja dari ayat-ayat yang ‘terlupakan’ dan sering dianggap ‘dongeng’ sampiran saja. Membaca ayat-ayat diatas tidakkah Ibu / Bapak ingin membuktikan sendiri ayat-ayat tersebut diatas? Atau apakah Ibu / Bapak menganggap cukup bahwa semua ayat diatas hanya dongeng saja? Sebelum terlambat, sebelum ajal tiba tidakkah Ibu / Bapak ingin menyaksikan sendiri ‘istana kaca’ seperti ratu Bilqis? ‘Disana’ kita mengulangi kembali dan menegaskan syahadat kita agar kita tidak tergolong umat yang bersumpah palsu /12.
Renungkan pula apa makna simbol bulan dan bintang sehingga banyak umat islam memakai symbol tersebut? Mengapa umat Nasrani menggantungkan bola-bola kaca (symbol-simbol matahari / bulan) dan bintang pada pohon natalnya? Mengapa pula munculnya bintang yang terang menjadi pertanda kelahiran Isa Al Masih? Juga apa makna “bintang nabi Daud” pada agama Yahudi? Demikan juga mengapa pula umat Budha dan Hindu menyebut “Purnama Sidhi”? Bagaimana pula maknanya dengan malam “seribu bulan”?
Itu hanya sebagian saja dari ayat-ayat yang banyak menyinggung ‘matahari’, ‘bulan’ dan ‘bintang’, ‘cahaya’ yang memiliki makna yang penting dan mendalam dalam praktek ibadah umat agama apapun. Ternyata tidak hanya ada dalam kitab suci kaum Muslim saja, tetapi juga dalam kitab suci umat lainpun Allah secara identik memakai simbul-simbul benda-benda dilangit. Sayangnya para tidak banyak pemuka agama yang mampu menjelaskan maknanya kepada umat. Temukanlah segera ‘Matahari’, ‘bulan’ dan ‘bintang’ tersebut. Carilah ‘Cahaya’ yang dimaksud, sebab ini adalah penunjuk arah perjalanan bagi rohani kita, agar kita tidak tersesat di ‘kegelapan perjalanan samudra malam’ rohani (isra) didalam upaya pencarian jalan kembali menuju Allah. Jadi bukan dijabarkan sekedar sebagai penunjuk arah dilautan sebagai pengganti kompas magnetic yang sifatnya duniawi. Kitab suci jika ingin dikaji secara duniawi / material atau ilmiah boleh-boleh saja, tapi marilah yang utamanya kajian rohani seharusnya kita khatamkan dulu.
Mari kita coba renungkan pula, apakah Allah dengan sifat Maha Tahu Nya menciptakan seluruh kejadian-kejadian tersebut dahulu kala terjadi dalam realita kemudian difirmankanNya dalam Al Qur’an hanya sekedar untuk menjadi dongengan atau cerita sejarah saja? Atau Allah memang menciptakan semua kejadian-kejadian itu dalam realita untuk diselaraskan dengan hukum-hukumNya agar pada zaman berikutnya kedepan dapat dijadikan ‘petunjuk’ bagi yang mau mengerti? Tampaknya memang harus kita gali sendiri maknanya dengan hati lapang dan tanpa prasangka agar kita dapat menemukan jalan yang lurus dan kembali kepadaNya. Memang harus dengan perjuangan! Inilah yang dimaksud dengan ‘Jihad’. Semua itu terpulang kepada niat kita masing-masing. Kita bebas merdeka menentukannya dan kitapun tahu apa konsekwensi dari masing-masing pilihan kita.
5. KHATAM
Ini bukan isapan jempol atau klenik. Sampai disini jika menurut Ibu / Bapak bahwa hal-hal diatas adalah adalah musykil sebaiknya tidak usah membuang waktu membaca makalah-makalah selanjutnya. Sebab hal-hal selanjutnya akan menjadi lebih musykil lagi bagi mereka yang sudah ‘mendindingi’ /13 dirinya dengan mengatakan; “Tidak mungkin, musykil!”.
Makalah-makalah selanjutnya khusus hanya bagi mereka yang sudah ‘merdeka’ berfikir dan ‘dewasa’ berfikir, mau berfikir logis dan tidak mau terkungkung oleh dogma-dogma maupun pendapat fanatik buta hanya karena sekedar pernah mendengar ‘katanya ulama A ataupun katanya kiyai B’. Padahal mungkin beliau-beliau juga belum tentu sudah membuktikannya sendiri.
Hal selanjutnya khusus hanya untuk mereka yang berani ‘hijrah’, mereka yang berani ‘membunuh diri’nya dan atau keluar dari ‘kampung’nya (An Nisa QS4:66 /14), bukan pula bagi mereka yang sekedar mengekor contoh dan apa kata moyang-moyang (orang-orang tua) mereka (Al Baqarah QS 2:170 /15) yang mungkin sudah bias karena panjang dan jauhnya perjalanan waktu. Ujilah dengan akal dalam diri kita setiap dalil yang dikemukakan oleh guru ngaji atau ustad kita, jangan diterima mentah-mentah.
Hal selanjutnya tentu juga tidak akan dapat dipahami oleh mereka (yang jika kita meminjam perumpamaan dalam surah Al Muzzammil QS73:17 diperumpamakan sebagai ‘anak-anak yang beruban’ atau orang dewasa walau sudah beruban tetapi masih berfikir seperti kanak-kanak) yang masih memegang teguh dan meyakini cara pendekatan pelajaran guru agamanya saat ia masih kanak-kanak yang menyampaikannya dengan dongengan masa kanak-kanak. Tidak mau ‘dewasa’ berfikir, menganalisa dan membuktikannya sendiri, walaupun akal serta nalarnya telah berkembang dewasa. Begitulah Al Qur’an memberikan perumpamaan.
Kadang-kadang tanpa memahami ucapan kita, kita membangga-banggakan bahwa Al Qur’an adalah kitab ilmiah. Padahal kitab ilmiah memerlukan pembuktian yang terukur. Tidak inginkah kita membuktikannya secara terukur?. Memang hal-hal demikian sebaiknya hanya didiskusikan dengan mereka yang sudah fakir kepada Allah dan disampaikan secara berhadap-hadapan muka saja dan masing-masing membaca sendiri-sendiri kitab terjemahan Al Qur’an miliknya, tidak disampaikan secara tertulis. Tetapi karena sempitnya waktu maka untuk menambah wawasan (saja) saya akan mencoba mengupasnya dengan makalah-makalah pendek, walaupun akan menjadi sangat terbatas. Untuk sesuatu yang mungkin mengganjal dan ‘terpaksa’ ditanyakan harap langsung segera ditanyakan kepada guru mursyid Ibu / Bapak.
Seorang mursyid sejati sudah tidak terhijab oleh kefanatikan kepada agamanya, dan beliau tentu akan mudah dan gamblang menjelaskannya karena beliau sudah tersingkap hijabnya dan sudah membuktikan surah Al Qaaf QS50:22 /16. Dan tentu beliau sudah paham makna ayat-ayat mutasyabihat karena sudah mendalam ilmunya dan selalu memakai akal sehatnya QS7:2;Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.
Kalau seorang guru mursyid tidak dapat menjelaskan secara tuntas maka dia bukanlah seorang mursyid sejati.
Guru mursyid sejati sudah tersingkap hijabnya sehingga mampu ‘membaca’ makna firman-firmanNya, itulah yang disebut sudah ‘khatam’ sebenar-benarnya.
Dicontohkan dalam firmanNya didalam surah Al Kahfi (QS18:66-67 /17) dimana seorang Musa yang nabi Allah ‘diperintahkan’ Allah untuk menemui ‘hanya’ seorang ‘hamba’ Allah, yang namanyapun oleh Allah dianggap tidak penting sehingga namanya tidak disebutkan dalam Al Qur’an. Dan memang Allah sengaja membuat ‘hamba’ Allah tersebut seolah ‘bukan siapa-siapa’ /18 agar kita manusia mau berpikir. Inilah cara Allah menguji akal kita dalam berfirman.
Nabi besar sekaliber Musa untuk ‘memohon-mohon’ dibimbing dan diberikan ilmu oleh ‘hamba’ Allah tersebut. Seorang nabi memohon-mohon kepada seorang ‘manusia biasa’, renungkan, banyak sekali pelajaran dari ayat tersebut yang dapat Ibu / Bapak serap dibalik makna ayat tersebut.
Seorang mursyid sejati -yang walaupun hanya ‘nobody’- mampu mengantarkan kita sampai ‘khatam’ seperti layaknya ‘hamba’ Allah yang tidak bernama tersebut diatas. Seorang mursyid sejati harus mampu mengantar seorang Islam menemukan ‘keIslaman’Nya, harus mampu mengantar seorang Kristiani menemukan ‘keKristenan’Nya, harus mampu mengantar seorang Budha menemukan ‘keBudhaan’Nya, harus mampu mengantar seorang Hindu menemukan ‘keHinduan’Nya, harus mampu mengantar seorang Yahudi menemukan ‘keYahudian’Nya juga harus mampu mengantar seorang Katolik menemukan ‘keKatolikan’Nya dll. Seorang guru mursyid sejati harus mampu mengantar Ibu / Bapak mencapai ‘keislaman’ yang paripurna (atau keadaan ‘keislaman’ seperti yang dimaksudkan oleh Nabi Ibrahim saat meng’inisiasi’ / membuka wawasan dan hijab putra-putri beliau sebagaimana disinggung dalam surah Al Baqarah QS 2:132) hingga Allah membukakan seluruh rahasiaNya yang disampaikan didalam kitab suci kepada Ibu / Bapak.
Nabi Muhammad bin Abdullah dalam ‘kebingungannya’ saat pertama ‘bertemu’ Jibril minta penjelasan dari paman istri beliau Siti Chadijah, yaitu Naufal, yang adalah seorang Kristiani dan penulis kitab Injil dan beliau mendapat ‘pengarahan’ dan penjelasan dari Naufal (baca kitab Al Bayan; hadist Bukhari-Muslim). Oleh Allah beliau juga ‘dipertemukan’ dengan pendeta Bahira, sebagaimana juga nabi Musa ‘dipertemukan’ dengan seorang ‘Chaidir’. Demikian juga dalam ajaran Kristiani Allah membuat ‘realita’ yang identik dengan hal itu, didalam Injil Isa yang Al Masih ‘dipermandikan’ oleh John The Baptist.
Dari peristiwa-peristiwa diatas tampak ada suatu pola yang identik bahwa bagi setiap utusanNya Allah memberikannya pembimbingnya yang nyata (guru mursyid) sebelum akhirnya beliau ‘disapih’ untuk mulai berjihad seorang sendiri. Bahkan kalau kita cermati setiap Rasul utusanNya yang membawa ‘peyegaran’ bagi ajaranNya yang notabene adalah penganut pertama ajaran ‘penyegaran’ yang baru turun tersebut selalu dibimbing oleh seorang guru mursyid yang tentunya selalu datang dari kalangan penganut ajaran yang sudah hadir sebelumnya. Sekarang kita dipermudah Allah, bahwa umat Muslim jika berusaha tentu akan menemukan seorang guru mursyid dari kalangan muslim pula, begitu pula umat Hindu dapat menemukan guru mursyidnya dari kalangannya sendiri dll. Contoh diatas menjelaskan bahwa setiap ajaran ‘penyegaran’ yang diturunkan berikutnya adalah kesinambungan dari ajaran yang sebelumnya. Dalam sejarah tampaknya setiap dalam kurun perjalanan waktu kurang lebih setiap 7 abad /19 pemahaman mayoritas penganut ajaran sebelumnya sudah mulai terjadi bias. Bias ini terjadi pada hanya level pemahaman bukan pada ajaranNya, ini terjadi karena sudah banyak ‘kepentingan duniawi’ turut berperan. Kalau kita kaitkan peristiwa-peristiwa tersebut diatas dengan surah Al Baqarah QS 2:132 /20, dimana Allah memfirmankan bahwa nabi Ibrahim walaupun tidak beragama Islam tetapi beliau jelas sudah beriman dalam maqam keIslaman yang sejati yang tertinggi (Ingat, saat itu Al Qur’an yang tersurat dan perintah sholat lima waktu pun belum turun). Disini kitapun dapat bertanya dan menegaskan kepada diri kita sendiri; “Apa yang dimaksud dengan kata ‘Islam’ saat itu yang difirmankan Allah dalam QS 2:132 tersebut ?”. Dari peristiwa-peristiwa tersebut tampak bahwa kata ‘Islam’ yang dikehendaki Allah maknanya lebih condong kearah bentuk keadaan status maqam keimanan kedalam diri seseorang yang lebih ‘immaterial’ sifatnya dari pada bentuk organisasi sebagai agama lahiriah yang hanya mengurus keimanan orang lain atau memberikan label kafir atau murtad terhadap orang per orang lain atau golongan per golongan lain, dan bukannya menata dan mengurus dirinya sendiri.
Semua ajaran apapun adalah milikNya, Allah menurunkan dengan sangat sederhana yaitu manusia harus berusaha mencapai maqam tertinggi yaitu damai dalam kepasrahan. Itulah makna dari kata ‘Islam’ yang kemudian diwariskan oleh Nabi Ibrahim melalui nabi Muhamad bin Abdullah kepada kita secara berantai dalam surah Al Baqarah QS 2:132. Kalau kita kaitkan QS2:132 dengan QS2:62 dan QS5:69 QS 22:17 tampak bahwa Allah merumuskan syarat-syarat yang sangat sederhana bagi kita umat manusia agar selamat dunia akhirat, tapi kitalah yang mempersulit.
Cernalah semua ini dengan analogy, syllogism dan akal sehat kita sebagaimana diperintahkan Allah dalam firmanNya. Tidak percaya? Boleh saja. Baca teliti, hadirkan hati /21 /22 kita dan renungkan dulu dalam-dalam kitab suci dari awal hingga akhir hingga kita ‘peka’. Memang demikianlah cara Allah memberi kita perumpamaan.
Allah berfirman di surah Az Zumar (QS39:18 /23) untuk banyak mendengar (bukan banyak bicara). Belajarlah mendengarkan dengan telinga bathin kita, dengan akal sehat kita cerna materi yang disampaikan / dibaca dan pilahlah yang baik-baik dan berguna.
Jangan melihat ‘siapa’ yang bicara atau penulisnya. Pembicara / penulisnya tidaklah penting, walaupun yang berbicara seorang yang sangat ‘tidak kondang’ atau seseorang sangat ‘kondang’. Kecuali kalau memang kita merasa sangat puas dengan sekedar mendapat bekal dongeng lucu untuk ‘oleh-oleh’ bagi anak dan cucu dirumah, yang penting asalkan yang ‘mendongeng’ seorang yang kondang.
Sebandingkah effort dan uang yang kita keluarkan untuk itu? Mungkin yang bicara didepan Ibu / Bapak hanya seorang anak-anak atau orang tua yang miskin dan lusuh tapi mungkin dia ibaratnya seorang ‘Chaidir’, atau seorang ‘John’ atau seorang ‘Naufal’ yang diperuntukan Allah bagi Ibu / Bapak. Cernalah baik-baik dengan akal sehat semua yang disampaikannya.
Mohonkan kepada Yang Maha Kuasa agar kita bisa segera memperoleh seorang guru mursyid sejati yang akan membuka jalan kemudahan kita dalam beribadah yang ‘lurus’.
Semua yang disampaikan diatas bukan klenik, bukan dongeng isapan jempol. Hal itu semua dapat Ibu / Bapak buktikan dan ‘saksikan’ sendiri masing-masing di’rumah’nya sendiri.
Sebaiknya tunaikan dahulu perintahNya yang bisa dikerjakan di’rumah’ kita sendiri sebelum kita jauh bepergian dengan ongkos yang mahal dengan syarat yang berat, lagi pula tidak semua orang mampu secara materi.
Tanpa harus meninggalkan rumah masing-masing dan tidak harus membayar tiket pesawat terbang yang mahal harganya, tanpa perlu mengundang qasidahan yang tersohor, tanpa perlu mengundang uztad yang ‘berlabel’ mahal untuk berceramah pada ‘pesta perpisahan’. Bahkan tanpa perlu sajen-sajen, apalagi tanpa ritual-ritual yang ‘berat’ dan aneh. Dan kita tidak perlu takut mati terinjak-injak. Buktikan sendiri dengan jihad , QS4:66 Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka).
Jadi kita berjihad dengan “membunuh diri kita sendiri dan keluar dari kampung kita” atau antal maut qablal maut bukan berjihad dengan membunuh dan menteror orang-orang lain yang keyakinannya berbeda dengan kita. Yang terakhir ini namanya bukan jihad tetapi jahat.
Makalah ini memang sengaja tidak membuka rahasia-rahasia tersembunyi dari firman-firman Allah tersebut tapi memang dimaksudkan untuk mengingatkan pembacanya saja, sebab rahasia-rahasia tersebut hanya boleh dibuka berhadap-hadapan setelah di ketahui bahwa sang ‘pencari’ atau si fakir tersebut memang sudah terbuka wawasannya dan sudah siap untuk menerima (dalam surah Al Baqarah di ibaratkan sebagai bukan ‘sapi belang’).
Mudah-mudahan makalah ini dapat mendorong dan menambah semangat Ibu-Bapak yang sedang mendalami serta ingin sebagai awalnya dapat membuktikan dan mendapat manfaat surah An Nuur (QS24:35) hingga keseluruhannya dan mencapai khatam. Jangan hanya sekedar ‘katanya…uztad A”. Untuk memulainya carilah guru mursyid sejati yang mampu mengantarkan Ibu / Bapak mengkhatamkan kaji sebenar-benarnya khatam sampai tuntas sehingga Allah berkenan menganugerahkan ‘la dunnaa ilmaa’ bagi Ibu / Bapak. Bukan sekedar ilmu klenik yang sering disalah artikan disebut sebagai ‘la dunnaa ilmaa’, tetapi sebenar-benarnya ‘la dunnaa ilmaa’ yang disebutkan dalam Surah Al Kahfi QS16:65 /24 / 25.
Hal itu semua cukup ‘hanya’ di ’buka’ oleh guru mursyid dengan surah ‘pembuka’ /26 yaitu surah Al Fatihah saja. Sesederhana itu kah? Ya! Sesederhana itu, Ibu dan Bapak hanya memerlukan berpasrah dan disaat waktu lowong banyak-banyaklah ikhlas bertafakur ‘mengirimkan’ surah Al Fatihah dengan cara yang tepat sasaran (menutup semua ‘pintu’ nafsu) serta laksanakan tuntunan guru mursyid Ibu / Bapak, guru mursyid yang akan membantu memohonkan kepada Allah untuk membukakan hijab Ibu / Bapak, selesai. Kemudian dalam kekhusyukan dan ketekunan maka semua yang disampaikan didalam firman-firmanNya akan Ibu / Bapak temukan atau saksikan sendiri didalam jagad micro (diri sendiri) saat Ibu dan Bapak sholat. Termasuk juga Ibu dan Bapak akan ‘menyaksikan’ nuurun ala nurin (membuktikan salah satu makna surah An Nuur QS 24:35) sesuai dengan derajat maqam keimanannya, kepasrahan, ibadah, ketaatan Ibu dan Bapak masing-masing. Kaum haqmaliyah (jawa barat) menyebutkan hal itu sebagai ‘alam cahaya’. Kalau kita sitir sebuah hadist -“Sholat adalah mi’raj nya umat Muslim”- apakah ini yang dimaksudkan oleh hadist tersebut? Terserah komentar Ibu dan Bapak masing-masing.
Itu semua dapat kita saksikan tanpa perlu sajen-sajen, tanpa perlu puasa ngebleng, puasa dhohir, tanpa jimat-jimat, izim, mantera-mantera apalagi ritual dikubur hidup-hidup, dan -tidak perlu berpanjang-panjang waktu dengan ibadah extra dan macam-macam atau berlama-lama menghabiskan waktu yang tidak effisien dan tidak produktif-. Itu baru ‘pembuka’ nya saja. Bagaimana dengan yang lainnya?
Setelah semua sudah ‘terbuka’, jika -memang perlu- dan kita cukup berharta, jika kita ingin ‘menapak tilas’ perjalanan nabi-nabi Allah ketempatnya yang jauh dan memerlukan ongkos yang besar ya monggo kerso. Tentunya hal itu akan menjadi lebih sempurna dan nikmat jika hijab kita sudah ‘terbuka’ terlebih dahulu serta kita sudah mampu memahami secara maknawiah apa saja yang akan kita saksikan disana kelak, sehingga selain memandang yang dhohir Bapak / Ibu pun dapat pula memandang yang bathin (Al Hadiid QS 57:3 /27). Dan kita pun dapat merasakan betapa kecilnya perjuangan kita dibandingkan rasul-rasulNya yang berjihad di alam yang gersang dan keras. Disini kita membuktikan betapa Maha PemurahNya Allah, walaupun perjuangan kita tidak ‘sebanding’ tetapi Allah tetap bermurah hati membukakan rahasiaNya kepada kita.
—۞—
1 Bukan fakir kepada dunia dengan cara menjual ayat-ayat dan NamaNya dengan mengemis di persimpangan jalan raya.
2 QS22:40 (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
3QS22:67 Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari`at tertentu yang mereka lakukan, maka janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari`at) ini dan serulah kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang lurus.
4QS5:48 Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu,
5 QS5:47 Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.
6(yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa.
7QS2:62 dan QS5:69 Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
8QS22:17 Sesungguhnya orang-orang beriman, orang-orang Yahudi, orang-orang Shabiin, orang-orang Nasrani, orang-orang Majusi dan orang-orang musyrik, Allah akan memberi keputusan di antara mereka pada hari kiamat. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu.
9Lihat catatan kaki no.1 di halaman 4.
10QS55:17 Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya.
11QS4:66 Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka),
12 QS25:72; ”Dan orang-orang yang tidak memberikan persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.”
13QS83:15 sebenarnyalah sesungguhnya mereka pada hari itu terdinding dari Tuhannya.
14QS4:66 Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka: "Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu", niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka. Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka)
15 QS2:170 Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?"
16QS50:22 Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, maka Kami singkapkan daripadamu yang menutupimu, maka penglihatanmu pada hari ini sangat tajam.
17Qs18:66-67 Musa berkata kepadanya: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?". Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersamaku.
18 Dalam Terjemahan Al Qur’an penterjemahnya sering menambahkan nama ‘hamba’ Allah tersebut sebagai nabi Chaidir, nabi Khidir atau nabi Khaidir. Tetapi dalam Al Qur’an nama tersebut tidak pernah disebutkan.
19 Angka 7 abad adalah hanya berdasarkan obsevasi data secara statistic dari makalah-makalah sejarah ajaran yang pernah saya baca. Dimulai sejak sejak ajaran Tao pada +/- 625 tahun sebelum masehi hingga mulainya masa kenabian Nabi Muhamad bin Abdullah..Dari Tao ke nabi Isa Al Masih, nabi Muhamad kemudian ke masa kewalian ditimur tengah, diafrika, di Indonesia atau santa-santa di dunia barat waktunya +/- berkisar setiap 7 abad..
20QS2:132 Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya`qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam".
21 QS26:192-194 Dan sesungguhnya Al Qur'an ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin ke dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
QS2:97 Katakanlah: Barangsiapa yang menjadi musuh Jibril, maka Jibril itu telah menurunkannya (Al Qur'an) ke dalam hatimu dengan seizin Allah; membenarkan apa (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang yang beriman.
22 Jika kita renungkan QS26:192-194, maka Al Qur’an yang tersurat baru menjadi syah / baku setelah hati kita bisa dan mau memahami sehingga kita mendapatkan maknanya yang hakiki.
23 QS39:18 yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal
24 QS18:65 Mereka menemukan seorang hamba dari hamba-hamba Kami (Khidir) yang telah kami berikan kepadanya rahmat dari Kami yang telah Kami ajarkan kepadanya suatu ilmu dari sisi Kami.
25 Untuk ayat QS18:65 diatas coba bacalah perlahan-lahan bahasa arabnya agar jelas apa bahwa dimaksud dengan ”la dunnaa ilmaa” memang ada.
26 Jadi istil;ah sura pembuka itu bukan diartikan sebagai surah pembuka halaman paling depan atau bukan sebagai surah pertama.
27 Qs57:3 Dialah Yang Awal dan Yang Akhir, Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Blog ini semata untuk mereka yang meyakini bahwa keindahan, keagungan dan kebesaranNya justru tampak lebih jelas dan indah didalam perbedaan-perbedaan dan keaneka-ragaman yang diciptakanNya dan disamping untuk menambah wawasan bagi saudara-saudara kami yang meyakini adanya kedamaian universal didalam kebenaran Islam. Bagi saudara-saudara kami yang merasa sudah mencapai Kebenaran pada jalan berbeda, kami ucapkan selamat dan terimakasih kami atas toleransinya yang sudah diberikan kepada kami. Jika pemahaman kami ini terasa mengganggu kenyamanan Ibu / Bapak / Saudara-saudari kami mohon keichlasannya untuk memaafkan, biarkanlah kami tetap dalam upaya 'pencarian' kami dan kami persilahkan menutup blog ini atau silahkan tetap membaca sejauh tidak merasa kenyamanannya terganggu.