Arsip

Thursday, October 1, 2009

PERAJAM

Dibawah ini penulis mensitir dari CATATAN PINGGIR Majalah Tempo 4 Otober 2009.
Penulis lebih "suka" menyebutnya sebagai ajaran ketimbang menyebutmya sebagai sebuah "cerita" sebagaimana disebutkan oleh penulisnya yaitu Goenawan Mohamad. Bertepatan dengan diresmikannya/diberlakukan hukuman rajam di Aceh, sebelum kita mengambil sikap sebaiknya  kita  simak dulu bagaimana Isa Al Masih (Yesus Kristus) menyikapi ahli kitab Taurat dan kaum Farisi yang akan "menjebak"nya sehubungan dengan hukum rajam yang tertulis di kitab Taurat.

Ini sebuah cerita yang telah lama beredar, sebuah kisah yang termasyhur dalam Injil, yang dimulai di sebuah pagi di pelataran Baitullah, ketika Yesus duduk mengajar.
Orang-orang mendengarkan. Tiba-tiba guru Taurat dan orang Farisi datang. Mereka membawa seorang perempuan yang langsung mereka paksa berdiri di te­ngah orang banyak.
Perempuan itu tertangkap basah berzina, kata mereka. "Hukum Taurat Musa memerintahkan kita untuk me­lempari perempuan-perempuan yang demikian dengan batu," kata para pemimpin Yahudi itu pula. Mereka tam­pak mengetahui hukum itu,' tapi toh mereka bertanya: "Apa yang harus kami lakukan?"
Bagi Yohanes, yang mencatat kejadian ini, guru Taurat dan orang Farisi itu memang berniat "menjebak" Yesus. Mereka ingin agar sosok yang mereka panggil "Guru" itu (mungkin dengan cemooh?) mengucapkan sesuatu yang salah.
Saya seorang muslim, bukan penafsir Injil. Saya hanya mengira-ngira latar belakang kejadian ini: para pakar Taurat dan kaum Farisi agaknya curiga, Yesus telah mengajarkan sikap ber­agama yang keliru. Diduga bahwa Yesus tak mempedulikan hukum yang tercantum di Kitab Suci; bukankah ia berani melanggar larangan bekerja di ladang di hari Sabbath? Mungkin telah mereka dengar, bagi Yesus iman tak bisa diatur pakar hukum. Beriman adalah menghayati hidup yang terus­ menerus diciptakan Tuhan dan dirawat de­ngan cinta-kasih.
Tapi bagi para pemimpin Yahudi itu sikap meremehkan hukum Taurat tak bisa dibiar­kan. Terutama di mata kaum Farisi yang, di antara kelompok penganut Yudaisme lain, paling gigih ingin memurnikan hidup sehari-hari de­ngan menjaga konsistensi akidah. Maka pagi itu mereka ingin "menjebak" Yesus.
Tapi Yesus tak menjawab. Ia hanya membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jari-jarinya di tanah. Dan ketika "pemimpin Yahudi itu terus-menerus bertanya," demikian menurut Yohanes, Yesus pun berdiri. Ia ber­kata, "Barangsiapa di antara kamu yang tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Lalu Yesus membungkuk lagi dan me­nulis di tanah.
Suasana mendadak senyap. Tak ada yang bertindak. Tak seorang pun siap melemparkan batu, memulai rajam itu. Bahkan "satu demi satu orang-orang itu pergi, dida­hului oleh yang tertua." Akhirnya di sana tinggal Yesus dan perempuan yang dituduh pezina itu, kepada siapa ia berkata: "Aku pun tak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang."
Tak ada rajam. Tak ada hukuman. Kejadian pagi itu kemudian jadi tauladan: menghukum habis-habisan seorang pendosa tak akan mengubah apa-apa; sebaliknya empati, uluran hati, dan pengampunan adalah laku yang transformatif.
Tapi bagi saya yang lebih menarik adalah momen ke­tika Yesus membungkuk dan menuliskan sesuatu dengan jarinya keatas tanah.
Apa yang digoreskannya? Tak ada yang tahu. Saya hanya mengkhayalkan: itu se­buah isyarat. Jika dengan jarinya Yesus menuliskan se­jumlah huruf pada pasir, ia hendak menunjukkan bahwa pada tiap konstruksi harfiah niscaya ada elemen yang tak menetap. Kata-kata-juga dalam hukum Taurat-tak pernah lepas dari bumi, meskipun bukan dibentuk oleh bumi. Kata-kata disusun oleh tubuh ("jari-jari"), meski­pun bukan perpanjangan tubuh. Pasir itu akan diinjak para pejalan: di atas permukaan bumi, memang akan se­lalu melintas makna, tapi ada yang niscaya berubah atau hilang dari makna itu.
Di pelataran Bait itu, Yesus memang tampak tak me­nampik ketentuan Taurat. Ia tak meniadakan sanksi ra­jam itu. Tapi secara radikal ia ubah hukum jadi sebuah unsur dalam pengalaman, jadi satu bagian dari hidup orang per orang di sebuah saat di sebuah tempat. Hukum tak lagi dituliskan untuk siapa saja, di mana saja, ka­pan saja. Ketika Yesus berbicara "barangsiapa di antara kamu yang tak berdosa", hukum serta-merta bersentuh­
an dengan "siapa", bukan "apa" -dengan jiwa, hasrat, ingatan tiap orang yang hadir di pelataran Bait di pagi itu.
Para calon perajam itu bukan lagi mesin pendukung akidah. Mendadak mereka me­lihat diri masing-masing. Aku sendiri tak sepenuhnya cocok dengan hukum Allah. Aku sebuah situasi kompleks yang terbentuk oleh perkalian yang simpang-siur. Kemarin apa saja yang kulakukan? Nanti apa pula?
Dan di saat itu juga, si tertuduh bukan lagi hanya satu eksemplar dari "perem­puan-perempuan yang demikian". Ia satu sosok, wajah, dan riwayat yang singular, tak terbandingkan-dan sebab itu tak terumus­kan. Ia kisah yang kemarin tak ada, besok tak terulang, dan kini tak sepenuhnya kumengerti. Siapa gerangan namanya, kenapa ia sampai didakwa?
Perempuan itu, juga tiap orang yang hadir di pelataran itu, adalah nasib yang datang entah dari mana dan entah akan ke mana. Chairil Anwar benar: "Nasib adalah kesu­nyian masing-masing".
Dalam esainya tentang kejadian di pelataran Baitullah itu, Rene Girard-yang menganggap mimesis begitu pen­ting dalam hidup manusia-menunjukkan satu adegan yang menarik: setelah terhenyak mendengar kata-kata Yesus itu, "satu demi satu orang-orang itu pergi...." Pada saat itulah, dorongan mimesis-hasrat manusia meniru­kan yang dilakukan dan diperoleh orang lain-berhenti sebagai faktor yang menguasai perilaku. Dari kancah orang ramai itu muncul individu, orang seorang. "Teks Injil itu," kata Girard, "dapat dibaca hampir secara ale­goris tentang munculnya ke-person-an yang sejati dari gerombolan yang primordial."
Tapi kepada siapakah sebenarnya agama berbicara: ke­pada tiap person dalam kesunyian masing-masing? Atau kepada "gerombolan"? Saya tak tahu. Di pelataran itu Yesus membungkuk, membisu, hanya mengguratkan ja­rinya. Ketika ia berdiri, ia berkata ke arah orang banyak. Tapi sepotong kalimat itu tak berteriak.
Goenawan Mohamad
Blog ini semata untuk mereka yang meyakini bahwa keindahan, keagungan dan kebesaranNya justru tampak lebih jelas dan indah didalam perbedaan-perbedaan dan keaneka-ragaman yang diciptakanNya dan disamping untuk menambah wawasan bagi saudara-saudara kami yang meyakini adanya kedamaian universal didalam kebenaran Islam. Bagi saudara-saudara kami yang merasa sudah mencapai Kebenaran pada jalan berbeda, kami ucapkan selamat dan terimakasih kami atas toleransinya yang sudah diberikan kepada kami. Jika pemahaman kami ini terasa mengganggu kenyamanan Ibu / Bapak / Saudara-saudari kami mohon keichlasannya untuk memaafkan, biarkanlah kami tetap dalam upaya 'pencarian' kami dan kami persilahkan menutup blog ini atau silahkan tetap membaca sejauh tidak merasa kenyamanannya terganggu.