Arsip

Monday, July 2, 2007

Untuk Madame Ast (Seorang Nasrani bersuamikan seorang muslim).

Pada tahun 1974 saya pernah menerima pertanyaan yang menggelitik dari seorang sahabat, sbb.;"Apakah doa saya sebagai seorang Muslim bagi sahabat saya yang beragama Nasrani (baik Kristen ataupun Katholik) akan dikabulkan Tuhan?" dan sebaliknya ”Apakah doa saya sebagai seorang Nasrani bagi sahabat saya yang beragama Islam akan diterima Tuhan?”.
Saya beruntung dikemudian hari saya menemukan seorang Kiai / Ulama/ Guru yang tulus mengajarkan dan menurunkan ilmunya kepada siapa saja. Beliau dapat menjelaskan dan membuktikannya dengan gamblang kepada ichsan-ichsannya maupun siapa saja tanpa pamrih. Setelah beliau wafat, kemudian dalam kurun waktu lebih dari 25 tahun saya baru mendapatkan “pengganti” Guru setingkat beliau kembali yang memberikan ajaran yang dalam alur yang serupa dengan ajaran beliau.
Dalam inti ajarannya salah satunya Beliau menyampaikan;”Saya sebagai Guru hanya bertugas mengantarkan Saudara-saudara agar dapat menjadi Guru atas diri saudara-saudara sendiri didalam memahami firman-firman Tuhan dalam kita-kitab suci apapun. Dan setelah jalan Saudara terbuka Saudara-saudara semua tidak boleh tergantung kepada saya (maksudnya – Guru) atau siapapun didunia ini walaupun dia seorang pemuka agama tersohor sekalipun, sebab banyak diantara mereka tidak tulus dalam menurunkan ilmunya hingga menyebabkan kalian bertambah jauh dan berputar-putar tanpa menemukan ‘Hakiki’ Nya, itu terjadi karena mereka hanya 'menjual' firman Tuhan untuk keduniawian (politik/organisasi dan ekonomi atau uang) semata atau mungkin mereka juga baru meraba-raba saja dan mereka pribadi pun belum mempunyai pengalaman Ketuhanan yang nyata. Kalau kalian berguru kepada Guru seperti demikian kelak kalian pribadilah yang akan mempertanggung jawabkan semua perbuatan dan ibadah kalian kepada Tuhan, bukan mereka guru anda ataupun tokoh pemuka agama tersebut, jadi berhati-hatilah. Untuk memperdalam ilmu Ketuhanan tidaklah sulit walaupun juga tidak mudah, semata bersihkanlah dan sibaklah tabir kegalauan dan keangkuhan hatimu dan jangan beranggapan bahwa kitalah yang paling benar, tengoklah kedalam diri dan dengarkanlah baik-baik kelembutanNya yang selalu menyapa dalam keheningan nuranimu. Selama ini tak terdengar karena kita terlalu sibuk dengan nafsu dan dunia diluar diri kita dan acuh kepadaNya walaupun tampaknya kita rajin beribadah.

Al Qur’an surah Asy Syuura atau surah 42 ayat 51;” Dan tidak ada bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana”.

Banyak orang mengatakan bahwa hanya Nabi-nabi yang bisa mendengar wahyu Tuhan, tapi sebagian yang lain (walaupun sama-sama merujuk pada ayat dan surah yang sama dengan yang diatas) mengatakan bahwa manusia, siapapun, punya potensi untuk bisa mendengar 'kehendak' Tuhan, itulah kebesaran dan kemurahan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Kita adalah insan merdeka, walaupun tidak terlalu mudah, setelah “Jalan” Saudara-saudara terbuka dan teruji, Saudara berhak menafsirkan firmanNya dengan tulus menurut nurani Saudara untuk kebutuhan nurani Saudara sendiri.Itulah yang terbaik bagi Saudara karena itulah yang diberikan Yang Maha Kuasa dan Maha Pengasih bagi saudara pribadi sesuai dengan kebutuhan ruhani pribadi Saudara. Memangnya apa bedanya antara kita dengan Uztad atau siapapun dia? Saudara-saudara menafsirkannya untuk kepentingan pribadi Saudara-saudara sendiri, semata karena ingin mendapatkan ridho/karuniaNya. Tetapi pihak lain (Uztad, Pendeta dll.) bisa saja menafsirkannya kepada kita untuk suatu kepentingan tersembunyi dibaliknya atau bagi kepentingan duniawi/politiknya mereka  dan golongannya sendiri, minimal untuk kepentingan dapur dan kocek mereka. Renungkanlah baik-baik!. Kita semua pada tingkat derajat yang sama. Bukankah kita pribadi semua sama sudah bersumpah dihadapanNya sebelum kita dilahirkan (Al A'raaf : 172. Jadi apa bedanya kita dengan mereka? Apa lebihnya mereka dengan Anda? Kalau Saudara tulus sedang mencariNya tentu saudara secara sadar tidak akan menghianati sumpah pribadi tersebut. Yang membedakan antara mereka dan Saudara, Saudara akan menafsirkannya murni untuk kepentingan keimanan Saudara sendiri tanpa embel-embel kepentingan apapun dibalik itu (yaitu semata ingin 'menemui' Nya, mudah-mudahan demikian). Tetapi bagaimana dengan penafsiran firman-firman Allah oleh mereka yang diberikan kepada Saudara-saudara (baik yang mereka peroleh secara turun temurun atau dari zaman ke zaman, apa yang membuat Saudara-saudara yakin bahwa tidak ada pamrih apapun dari mereka dibalik itu semua?) Apakah tidak ada distorsi dengan panjangnya rentang waktu dari zaman ke zaman sebelum disampaikan kepada Saudara? Keputusannya terserah kepada Saudara-saudara masing-masing.

Carilah Tuhan dalam kebenaran yang hakiki sebagaimana difirmankan dalam Injil Matius 6: 33-34;”Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaranNya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Sebab itu janganlah kamu kuatirkan hari esok”.
Injil Yesaya 55:6;”Carilah Tuhan selama ia berkenan ditemui; berserulah kepada-Nya selama ia dekat!”
Janganlah kita sekedar hanya mendengar apa kata orang lain dan mengulang-ulang ucapan orang lain saja, tapi carilah, bacalah, minimal pahami dengan nurani kita dan bahkan minimal beberapa ayat-ayat yang essensial kelak kita harus membuktikannya sendiri, cepat atau lambat Saudara-saudara pasti harus membuktikannya. Setiap ayat, pada kitab suci dapat dibuktikan kebenarannya, kalau Saudara-saudara tulus kelak Saudara-saudara akan sampai pada 'kondisi' yang saya maksudkan tsb. Pada dasarnya manusia terlahir baik, tetapi terkadang lingkungan yang mempengaruhi hingga kita lupa tugas kita”.

Guru mengatakan bahwa : “ …Kita hanya -lupa-”, Guru tidak memakai istilah –jahat- tetapi memakai istilah –lupa-. Manusia tidak berhak menghakimi individu lain sebagai orang ‘jahat’, kafir atau apapun istilah lainnya yang tidak menyenangkan sebagaimana kita tidak akan menemukan sebuah ayatpun yang melimpahkan kuasaNya pada manusia untuk menyebut orang lain adalah kafir, demikian juga halnya umat Nasrani dilarang oleh Allah untuk menghakimi orang lain kalau kita tidak mau dihakimi dengan cara yang sama seperti kita menghakimi (Injil Matius 7:1-5; Lukas 6:37-42, bahkan Galatia 6:7 menegaskan bahwa siapa berbuat akan menanggung akibatnya ;“Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya” (hukum sebab akibat), dalam Al Qur’an surah Al Muddatstsir atau surah 74 ayat 38 hal yang bermakna kurang lebih sama difirmankan sbb.;“ Setiap diri tergadai dengan apa yang diusahakannya”.

Baik agama Yahudi,Kristen maupun Islam berasal dari Sumber yang sama (ketiganya sering disebut sebagai agama samawi, agama langit). Kalaupun memang ada (menurut saya pribadi tidak ada satu ajaran apapun yang tidak berasal dariNya Yang Maha Pencipta) - kepada ajaran yang tidak datang dari Sumber yang sama atau bukan agama Samawi, Al Qur’an dalam surah Al An’aam atau surah 6 ayat 108 melarang umat nabi Muhammad bin Abdullah untuk merendahkan Tuhan mereka ; “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. “. Kita semua diciptakan Tuhan sebagai mahluk merdeka dan demokratis, kita / mereka sebagai individu juga berhak atau dapat berbuat baik maupun salah menurut penilaian individu pelakunya masing-masing, kita tahu bahwa semua kelak akan kita pertanggung jawabkannya secara individu.
Umat Muhammad bin Abdullah menyebut Tuhan dengan sebutan Allah sedangkan umat Isa Al Masih (Yesus Kristus) menyebutNya dengan nama Allah Bapak. Pada Al Qur’an surah Al Baqarah atau surah 2 ayat 200, dijelaskan bahwa;“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berzikirlah (dengan menyebut) Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu / bapak-bapakmu, atau berzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di antara manusia ada orang yang berdo`a: "Ya Tuhan kami, berilah kami (kebaikan) di dunia", dan tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di akhirat”. Jadi apakah salah jika ada manusia mem 'Bapa'i untuk menyebut Allah seperti kita menyebut seolah-olah seperti ‘Bapak’ kita semua atau menyebutNya Allah Bapak? Bukankah kita datang dari Allah?
Kalau kita mengkaji Al Qur’an secara rinci dengan niatan yang tulus (maksudnya tulus adalah termasuk didalamnya tidak terkait kepentingan politik, kepentingan ekonomi atau uang maupun ego) kita akan mendapatkan bahwa ajaran yang diturunkanNya melalui nabi Muhammad bin Abdullah tidak pernah membuat diskriminasi dengan agama lain, tidak pernah membuat claim untuk merendahkan / menistakan ajaran-ajaranNya terdahulu. Salah satunya pada Surah 5 ayat 47 yang intinya mewajibkan umat Nasrani / Katholik membaca Injil.
Beliau tetap bersandar kepada ajaran-ajaranNya yang diturunkan melalui Utusan-utusanNya yang sudah hadir sebelumnya termasuk juga bersandar kepada ajaran Ibrahim (Abraham nama menurut umat Nasrani). Pada Al Qur’an surah Al Baqarah atau surah 2 ayat 131 Tuhan Yang Maha Kuasa memerintahkan pada Ibrahim;”Islamlah!“, kita harus ingat saat itu Al Qur’an (Al Qur'an yang dhohiriah) belum diwahyukan dan Muhammad bin Abdullah belum dilahirkan bahkan sholat wajib lima waktu yang mana dianggap sebagai ciri agama Islam belum ditetapkan. Perintah agar ber-Islam disini berarti – pasrah -, atau berserah diri pada kehendak Tuhan Yang Maha Perkasa, ada juga yang menterjemahkan sebagai 'Jalan Keselamatan'. Kemudian Ibrahim menyampaikan hal tersebut kepada kepada anak-anaknya seperti difirmankan dalam Al Qur’an Al Baqarah atau surah 2 ayat 132; “Hai anak-anakku , sesungguhnya Allah telah memilih Islam untuk kamu, maka janganlah kamu mati melainkan dalam keadaan muslim” (muslim maknanya adalah orang yang sudah ber-Islam atau sudah berserah diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa). Beragama Islam tidaklah selalu identik dengan ‘sudah Islam’ sedangkan bila ‘sudah Islam’ subject bisa beragama Islam bahkan bisa juga bukan beragama Islam. Islam adalah kepasrahan menerima sunnatullah (hukum-hukum Allah) termasuk didalamnya keberagaman etnik, keberagaman agama-agama yang sudah diciptakan dan diturunkan Nya sejak awal sampai dengan sekarang. Apakah tidak indah melihat ‘taman’ ciptaanNya dengan aneka warna-warni bunga-bunga dan pepohonan? Atau ego kita lebih suka melihat satu jenis pepohonan saja diseluruh taman-tamannya bahkan tanpa rerumputan hijau? Terserah pilihan individu masing-masing, setiap individu adalah subject merdeka dengan pilihannya masing-masing dan kelak mereka harus mempertanggung-jawabkan pilihannya sendiri. Kita harus berterimakasih jika ada seseorang yang berbuat yang tidak menyenangkan kepada kita, karena dengan sukarela ada yang memilih peran yang tidak menyenangkan tersebut sehingga kita dapat meningkatkan tingkat keimanan kita sampai kita "lulus pada ujian ahir". Mudah-mudahan pengorbanan orang tersebut dalam memilih peran yang berat tersebut tidak sia-sia karena ternyata kita telah lancung keujian.
Mari kita tengok pada saudara kita kaum Nasrani atau Khatolik. Sering kita melihat gambar-gambar Yesus atau juga photo-photo Paus merendahkan dirinya rebah diatas tanah merentangkan tangannya lebar-lebar menyerupai bentuk salib mencium bumi, lemah dalam kepasrahan. Ini adalah salah satu simbolisasi gambaran ungkapan kepasrahan, penyerahan diri, penghambaan, menerima semua kehendak Yang Maha Kuasa. Kami umat nabi Muhammad bin Abdullah menyebutnya –Islam- (pasrah), pada kondisi yang mendasar umat Budha menyebutnya Samadhi, menyerahkan semuanya pada kuasa Allah, bahkan gerak tulus jari tangan kita sebagaimana tulusnya gerak awan mengikuti kehendak angin atau Alam Semesta ciptaanNya. Jika tulus kelak kita akan memahami ini.
AjaranNya melalui utusan-utusanNya selalu membutuhkan kepasrahan dan ketulusan kepada Dia Sang Pencipta, kita harus menerima kenyataan bahwa Allah (apapun kita menyebut namaNya- kaum Nasrani menyebutNya Allah Bapa, kaum Yahudi menyebutNya Yahwee atau apapun itu, Shri Khresna dll.) adalah simbolisasi keterbatasan manusia dengan bahasanya yang ingin menjelaskan keberadaan Tuhan Yang Maha Kuasa, Tuhan yang sama yang disembah baik kaum Yahudi, Nasrani dan Islam maupun agama lainnya( QS5:48, QS2:62, QS5:69, QS22:17). Tetapi sering kali ego manusia turut berbicara dalam keangkuhannya sehingga membuatnya menista orang lain yang tidak sepaham dengan dia, seolah hanya dia yang paling benar.
Tuhan yang Maha Kuasa berhak merendahkan atau menistakan mahluk ciptaanNya yang tidak percaya kepadaNya, tapi bahkan Yang Maha Kuasapun tidak melakukan itu karena Dia Maha Pengasih dan Penyayang, Dia hanya menghendaki keselamatan bagi seluruh umat, manusialah yang mencelakakan dirinya sendiri dengan pilihan egonya sendiri.
Dalam Al Qur’an kita tidak akan menemukan sebuah ayatpun yang memberikan wewenang kepada manusia untuk menyebut manusia lain adalah ‘kafir” bahkan terhadap seorang Atheis (kalaupun memang ada manusia yang atheis) sekalipun. Bacalah setiap kitab suci apapun dengan hati dan niatan yang jernih, carilah makna-makna kesucian (dengan nalar yang sehat dan suci) dari balik setiap ayat yang kadang kala sering diungkapkan dengan bahasa yang justru kadang-kadang bertentangan dengan makna hakikinya. Tanyakanlah pada nurani kita yang paling dalam; "Apakah mungkin Allah yang Maha Penyayang akan memerintahkan mahlukNya untuk untuk menyakiti/mencelakai mahluk lain?", mungkin ada baiknya kita renungkan dalam-dalam.
Surah Al Maaidah ayat 47-48 jelas menyampaikan bahwa Allah menciptakan bermacam-macam agama semata agar manusia berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan saling merendahkan, menghina apalagi saling berbunuhan.


Dalam Al Qur’an surah Al Baqarah atau surah 2 ayat 62;”Sesungguhnya orang-orang mu'min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”.

Menurut Al Qur’an posisi seluruh umat beragama maupun kaum Shabiin (umat-umat penyembah api, bintang, matahari dan umat dari Nabi-nabi / Utusan-utusanNya dizaman purba atau umat yang menyembah Dewa-dewa adalah jelas sama sejajar. Allah hanya mensyaratkan 3 hal penting saja ( tanpa embel-embel yang pelik seperti yang sering kita dengar saat ini), yaitu:

1. Percaya kepada Allah (umat Nabi Muhammad bin Abdullah menyebutNya – Allah, umat Nasrani menyebutNya – Allah Bapak, umat Yahudi menyebutNya Yahwee, kaum Radha Swami Satsang Beas menyebutnya Satguru atau apapun Umat lain menyebut namaNya. Itu semua hanya persoalan nama, nama tetaplah hanya nama, nama bukanlah Dia!)
2. Percaya kepada hari kemudian.
3. Beramal saleh (kadang agak lebih mudah bagi sebagian orang memahami arti saleh dalam terjemahan bahasa Inggris dari pada dalam bahasa Indonesia yang masih sering berbau bahasa Arab. Beramal saleh diterjemahkan kedalam bahasa Inggris adalah - “Doing righteous” atau menurut kitab Holly Qur’an terjemahan kedalam bahasa Inggris.

Bukankah begitu sederhana permintaanNya?! Bahkan kita tidak perlu mengagung-agungkan apalagi mengkultuskan si A atau si B. Kita -manusia- yang membuatnya semua itu tampak menjadi begitu rumit.
 

Tuhan tahu bahwa kita manusia cenderung lupa, sering ingkar, sombong dan suka melanggar itulah sebabnya Allah menegaskan kembali ayat tersebut pada Al Qur’an surah Al Maa-idah atau surah 5 ayat 69 juga dalam surah Al Hajj atau surah 22 ayat 17. Tidak ada pernyataan Allah bahwa orang beragama Islam lebih dimuliakan dibanding mereka yang beragama lain. Tetapi orang yang “berserah diri” (apapun agamanya) atau orang yang pasrah dengan tulus berserah diri kepadaNya akan dimuliakan dibanding orang yang menentang hukum-hukumNya. Orang yang ber-Islam bisa saja itu seorang beragama Budha atau Nasrani, belum tentu ia seorang yang beragama Islam. Seorang beragama islam belum tentu bertemu dengan IslamNya begitu juga orang beragama katolik belum tentu bertemu dengan KatolikNya, demikian juga dengan yang lain. Ayat dibawah ini menjadi bukti ungkapan saya diatas tadi.

Kalau kita membaca Al Qur’an surah Aali ‘Imraan atau surah 3 ayat 45-46;“ketika Malaikat berkata: "Hai Maryam, sesungguhnya Allah menggembirakan kamu (dengan kelahiran seorang putera yang diciptakan) dengan kalimat (yang datang) daripadaNya, namanya Al Masih `Isa putera Maryam, seorang terkemuka di dunia dan di akhirat dan termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah), dan dia berbicara dengan manusia dalam buaian dan ketika sudah dewasa dan dia termasuk di antara orang-orang yang saleh."”.

Kalau kita paham berbahasa Indonesia yang benar dan kita jujur pada diri sendiri, ayat diatas ini menggambarkan posisi Isa Almasih (Kristus) sejelas-jelasnya. Banyak UtusanNya yang dekat dengan Allah dan Kristus adalah salah satunya.Tapi kalau kita bertanya tentang siapa yang paling terkemuka sejak didunia sampai diakherat? Jawabannya jelas diberikan pada ayat tersebut. Mau berdalih, atau mau mengingkari? Silahkan saja! Renungkan ayat diatas dalam-dalam maka ayat tersebut akan menjelaskan kepada kita siapa zat ciptaan Tuhan yang paling terkemuka(dari kata – ter dan kemuka-) sejak lahirnya (bayi Al Masih Isa saat masih dibuaian sudah berbicara membela Maryam kepada orang-orang yang memfitnah Maryam) bahkan sampai diakherat. Mengapa? Pengkajian untuk jawaban ini memerlukan kedewasaan berfikir, kematangan jiwa / ruhani yang amat sangat dan waktu yang panjang, umumnya baik umat beragama Islam apalagi umat beragama Nasrani sulit menerima penjelasan ini. Mudah-mudahan kejernihan niat kita berkenan memberikan waktu untuk kita masing-masing menuntaskannya kelak.

Dari penjelasan-penjelasan diatas menjadi terang bahwa tentu saja Allah akan menerima doanya seorang yang mendoakan suami, istri, anak-anak, keluarga atau teman-temannya yang beragama lain dengan doa yang diajarkan kepadanya oleh Kristus melalui ajaran Nasrani. Dalam agama apapun doa dalam niatan yang suci adalah kebajikan, mengapa Tuhan Yang Maha Pengasih harus menolaknya?! Yang penting adalah bagaimana kualitas kekhusukan kita (kepasrahan kita) serta kesucian kita berdoa kepadaNya.

Bahkan dalam Al Qur’an surah Al Maa-idah atau surah 5 ayat 47 Allah berfirman memerintahkan umat Nasrani membaca / melaksanakan perintah-perintah Allah yang diturunkan dalam Injil - sebagai berikut ini; ”Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”. (fasik = orang asosical, amoral atau melampaui batas kepatutan). Seringkali ada manusia yang senang berbelit dengan mengajukan pertanyaan;”Injil yang mana?” jawabannya menurut nalar yang sehat tentu akan jelas –Jika Tuhan perlu merincinya tentu Dia akan merincinya secara spesifik dalam Al Quran- , jadi tidak perlu risau, ambil yang mana saja yang anda suka. Bahkan mungkin kalau kita ingin memilih Injil Thomas,Injil Judas atau Injil Barnabas, atau Al Qur'an kaum Achmadiyah, mengapa tidak? Saya pribadi tidak perlu izin orang lain untuk membaca Qur'an Acmadiyah atau Injil yang umumnya oleh kaum Nasrani disebut Injil Murtad ( yaitu; Injil Thomas, Injil Barnabas adan Injil Judas). Suatu saat Kitab tersebut berada ditangan saya maka saya yakini bahwa Allah sudah memberikan izin langsung kepada saya pribadi untuk membacanya. Mengapa saya harus minta izin Pendeta, Pastur atau Kiai? Bukankah mereka sama dengan kita, manusia,  dan dapat juga berbuat khilaf. Biarlah hati ini yang menentukan dan memilah apa yang disebut kebenaran yang hakiki, bukan mereka. Minimal apa yang kita baca menambah perbendaharaan kebijaksanaan kita jika kita memang berniat baik dan bersih.

Dalam Al Qur’an surah Al Maa-idah atau surah 5 ayat 48;”Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”, tersirat disampaikan bahwa adanya perbedaan agama-agama adalah cobaan agar manusia bergairah berlomba-lomba berbuat kebajikan, bukan saling mencaci atau saling membunuh, tapi itulah namanya ujian belum tentu semua siswa dapat lulus, kalau luluspun belum tentu berpredikat sangat baik bahkan masih jauh dari predikat cukup.

Kita tidak perlu fanatik beragama tapi fanatiklah kepada Tuhan sebab Tuhan tidak berada dalam agama tetapi Dia selalu tinggal dalam baitNya yang hidup yaitu dalam diri kita sesuai pemahaman saya akan Yohanes 2:21 dan Korintus 3:16, seperti juga disampaikan dalam Al Qur’an surah berikut ini ;

· Thaahaa atau surah 20 ayat 13;” Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkan lah apa yang akan diwahyukan (kepadamu)”.
· Thaahaa atau surah 20 ayat 41;”dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku”.
· At Taubah atau surah 9 ayat 108;” Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid yang didirikan atas dasar takwa sejak hari pertama adalah lebih patut kamu bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih.”. Mesjid taqwa yang didirikan sejak hari pertama adalah bukan masjid Quba di jazirah Arab seperti diceritakan orang pada umumnya, tetapi itu adalah jasad kita ini yang sejak hari pertama kita dilahirkan sudah menjadi bait Allah. “Hari Pertama” setiap manusia berbeda-beda, “Hari Pertama” itu sama sekali tidak terikat dengan mesjid Quba di jazirah Arab nun jauh disana. Masjid ini bukan masjid yang terbuat dari batu tapi masjid atau bait yang terbuat dari 'tanah' yang terdiri dari daging dan darah. Orang akan berkilah;”Begitu banyak jasad/manusia yang ada dibumi ini!. Kalau begitu Allah juga lebih dari Satu?”. Jawabnya” Apakah matahari yang engkau lihat beramai-ramai bahkan dari tempat-tempat yang berbeda-beda itu lebih dari satu?”. Begitulah kekuasaan Allah, tidak ada yang sulit bagiNya. Bukankah Tuhan itu Maha Kuasa!?. Hal seperti itu hanya hal yang sepele bagiNya, ketololan kita yang menbuatnya menjadi tampak sulit dimata kita!

Saya tidak ingin mempengaruhi siapapun, kita mahluk merdeka, pilihlah yang terbaik bagi diri kita sendiri, jangan biarkan orang lain memilihkan / memaksakan bagi kita, apalagi soal keimanan kita kepada Tuhan, tidak ada orang lain yang bisa menyelamatkan kita (termasuk Nabi Muhammad bin Abdullah maupun Nabi Isa) kecuali diri kita sendiri atas izin Tuhan didalam baitNya, tapi perhitungkan dampaknya, jangan sampai putusan kita menyakiti hati siapapun terutama orang tua kita.Tapi kita secara individu tetap yang harus membuat putusan akhir dengan cara yang bijak agar tidak menyakiti siapapun dalam memutuskan pilihan. Semua agama bicara satu hal saja yaitu penyerahan diri yang tulus kepada Sang Pencipta melalui amal tingkah laku penganutnya. Bukankah itu baik?

Kajian Islam Esoteric seperti ini bagi orang Islam umumnya disebut bid’ah (melanggar hukum agama Islam),bagi orang Nasrani disebut Gnostic Christian (Kristen yang berkembang pada abad pertengahan) dan saat ini hal demikian itu umumnya dianggap sebagai pemahaman yang menyimpang, Murtad, begitulah kenyataannya.
Untuk dapat memahami hal yang maknawiah, kita harus menjadi orang yang terbuka lebar hatinya sebagaimana dalam Injil Markus 10:15 difirmankan ;“ Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti Anak Kecil, ia tidak akan masuk kedalamnya”, menurut saya kita harus seperti anak bayi tanpa daya dan pasrah menghapus sifat ngeyel, tanpa prasangka buruk terhadapNya untuk dapat menerima kehendak Tuhan melalui siapa saja. Persamaan makna kepasrahan ini sering diungkapkan oleh khalayak beragama Islam walaupun umumnya tidak dipahami maknanya, yaitu;”Tiada daya dan kekuatan tanpa izin Allah”. ini adalah kunci kita untuk mendapatkan ilmu Allah sedalam-dalamnya. Mungkin perlu saya sitir ulang Al Qur’an surah Az Zumar atau surah 39 ayat 18 diatas dimana Tuhan memerintahkan agar umat jangan melihat status siapa yang berbicara, tapi dengar apa isi pembicaraannya dan ambillah yang terbaik;”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”. Jadi sekali lagi – Pakailah akal jangan membeo atau jadi robot.

Dalam Al Qur’an diungkapkan tentang manusia yang tergolong menjadi “Anak-anak beruban” sebagaimana dikiaskan dalam Al Qur’an surah Al Muzzammil atau surah 73 ayat 17;”Maka bagaimanakah kamu akan dapat memelihara dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang menjadikan anak-anak beruban.”. waktu kita kanak-kanak atau waktu kita masih belum paham, untuk beribadah kita harus diiming-imingi ‘Surga”, diceritakan keberadaan “Tanah Suci” kemudian pemahaman terbawa ke hari tua kita dan hal itu tidak berubah–masih selalu bicara tentang harapan-harapan dan kepamrihan mendapat “Surga” atau "Pahala" atau bicara tentang “Tanah Suci” dijagad  dhohir yang kotor ini sampai setelah kita dewasa atau tua, kemudian apa bedanya kita dengan ‘anak-anak beruban’ atau orang yang jasadnya sudah tua bahkan sudah ubanan tapi pemikirannya masih seperi kanak-kanak tidak memakai nalar akal sehat, bukankah saat kanak-kanak kita belajar dengan metode Imitatif atau membeo? Hal lain tentang Adam, saya tidak perlu sebutkan ayat-ayatnya, bukankan jelas kita semua tahu bahwa diungkapkan Allah baik dalam agama Nasrani maupun Islam melalui Injil dan Al Qur’an bahwa – Nabi Adam saat berada di surga tergoda Iblis. Disurga ada Iblis! Iblis diberi tangguh oleh Tuhan dan Iblis belum pernah terusir dari Surga. Mengapa kita ingin kembali kesurga? Mengapa kita tidak kembali saja kepada Tuhan, Pencipta Kita? Apakah Kita ini lebih hebat dari Nabi Adam yang 'runtuh' dalam menghadapi Iblis? Dewasalah, jangan seperti “Anak-anak beruban”. Pahami makna semua itu, Surga, atau “Gunung / Bukit” dan terminology yang lain, semua itu sarat makna-makna dalam setiap Kitab Suci.
Itu semua kiasan, pakailah akal jangan seperti kanak-kanak atau mereka yang baru hendak belajar yang tanpa disadari masih saja pamrih keduniawian. Beramallah semata-mata karena ketulusan jiwa kita dan kembalilah kepada Sang Maha Pencipta bukan kesurga. Al Qur’an surah Al ‘Alaq atau surah 96 ayat 8; ”Sesungguhnya hanya kepada Tuhanmulah kembali (mu)”, Al Qur’an surah Al Qiyaamah atau surah 75 ayat 12;” Hanya kepada Tuhanmu sajalah pada hari itu tempat kembali.”. Jangan pamrih. Mudah-mudah kita semua paham makna dibalik ungkapan ini, sebab akan terlalu kasar jika saya ungkapkan secara langsung / terbuka.

Akhir kata, mohon jangan sampaikan hal ini kepada orang yang “belum siap” mendengar atau yang oleh kaum Sufi sering dikiaskan sebagai “Orang yang memelihara anjing dalam rumah” , maknanya – anjing hanya pandai menggonggong walaupun ada orang yang sedang membawa kebajikan pada anjing tersebut. Jadi bagaimana Allah hendak menyapa seorang seperti itu jika dalam hati ia selalu menggonggong, menggigit seperti anjing (merendahkan dan menyerang keyakinan orang lain - menganggap kebenaran hanya miliknya, orang lain yang berpakaian berbeda dengannya adalah kafir dan najis)-, padahal Al Qur’an surah Az Zumar atau surah 39 ayat 18 memerintahkan agar umat jangan melihat status siapa yang berbicara, tapi dengar apa isi pembicaraannya dan ambillah yang terbaik;”Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”. Sebagaimana dalam Injil Matius 7:6 disampaikan; “Jangan kamu memberikan barang kudus kepada anjing dan jangan kamu melemparkan mutiaramu kepada Babi, supaya jangan diinjak-injaknya dengan kakinya, lalu ia berbalik mengoyak kamu”. Yang dimaksud dengan barang kudus dan mutiaramu adalah apa saja ajaran-ajaran Tuhan yang tentu saja hanya bertujuan untuk kemulian dan kebaikan bagi umat manusia itu sendiri, bukan yang berbau politik, ekonomi, uang atau apapun ‘kedagingan’ yang lain. Menurut Dr Musthafa Mahmud dalam buku As-Sirru ’l – A’zham terbitan Daru’l-Ma’arif, Cairo cetakan ke IV tahun 1982 diterjemahkan oleh Bahrum Abu Bakar, Lc dan diertbitkan oleh Pernerbit Husaini Bandung agustus 1986 halaman 13, Nabi Muhammad bin Abdullah pernah berujar hal yang serupa walupun tak sama dengan Injil Matius 7:6 diatas; “Jangan kamu lemparkan mutiara-mutiara hikmah dihadapan babi-babi, maka berarti engkau berbuat zhalim terhadapnya. Dan jangan engkau menghalanginya dari orang yang berhak menerimanya, maka engkau telah berbuat zhalim terhadapnya mereka.

Saya mohon maaf jika pemahaman Al Qur’an atau Injil yang saya sampaikan mungkin sangat berbeda dengan penghayatan dan pemahaman (penafsiran) bagi saudara-saudari saya dari kaum Muslim atau Nasrani, tanpa maksud merendahkan maupun menghina atau menyinggung perasaan saudara-saudari, tapi memang demikianlah adanya pemahaman saya pribadi.

Referensi:
1. KITAB PERDJANDJIAN BAHAROE. (Diterdjemahkan dari bahasa Gerika kepada bahasa Melajoe). Dikeloearkan atas belandja “BRITISH AND FOREIGN BIBLE SOCIETY” di London dan “NEDERLANDSCH BIJBELGENOOT SCHAP” di-Amsterdam. Tertjetak di-Semarang 1938.
2. ALKITAB. Terbitan Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta 2001.
3. PROGRAM KITAB SUCI AL QUR'AN (Versi 6.50). Hak Cipta Milik Perusahaan Software Sakhr, 1997. Anak Perusahaan Al Alamiah.
4. AL QUR’AN TERJEMAH INDONESIA. Penyusun: Tim DISBINTALAD, diterbitkan oleh PT Sari Agung. Jakarta.
5. AL QUR’AN DAN TERJEMAHNYA. Diterbitkan PT Karya Toha Putra Sema rang. Di Semarang.
6. THE HOLY QUR’AN. Arabic Text, English Translation and Commentary. Maulana Muhammad Ali. Lahore Inc. USA
Blog ini semata untuk mereka yang meyakini bahwa keindahan, keagungan dan kebesaranNya justru tampak lebih jelas dan indah didalam perbedaan-perbedaan dan keaneka-ragaman yang diciptakanNya dan disamping untuk menambah wawasan bagi saudara-saudara kami yang meyakini adanya kedamaian universal didalam kebenaran Islam. Bagi saudara-saudara kami yang merasa sudah mencapai Kebenaran pada jalan berbeda, kami ucapkan selamat dan terimakasih kami atas toleransinya yang sudah diberikan kepada kami. Jika pemahaman kami ini terasa mengganggu kenyamanan Ibu / Bapak / Saudara-saudari kami mohon keichlasannya untuk memaafkan, biarkanlah kami tetap dalam upaya 'pencarian' kami dan kami persilahkan menutup blog ini atau silahkan tetap membaca sejauh tidak merasa kenyamanannya terganggu.